Pada malam hari ini saya akan berbagi novel yang di tulis oleh habiburrahman el shirazy novel ini bercerita tentang Zahid yang zuhud dan Afirah yang Kaya, daripada saya ceritakan nanti tidak seru...mending'an download saja
jika anda di suruh masukin password ketik saja "byyoupradana" tanpa tanda petik.
tetapi jika nda masih kesulitan ini,,,langsung saya kasih...
Silahkan di simak
SAJADAH CINTA
KOTA KUFAH terang oleh
sinar purnama. Semilir
angin yang bertiup dari
utara membawa hawa
sejuk. Sebagian rumah
telah menutup pintu dan jendelanya. Namun
geliat hidup kota Kufah
masih terasa. Di serambi masjid Kufah,
seorang pemuda berdiri
tegap menghadap kiblat.
Kedua matanya
memandang teguh ke
tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan
ayat-ayat suci Al-Quran.
Hati dan seluruh gelegak
jiwanya menyatu
dengan Tuhan, Pencipta
alam semesta. Orang- orang memanggilnya
Zahid atau Si Ahli Zuhud,
karena kezuhudannya
meskipun ia masih muda.
Dia dikenal masyarakat
sebagai pemuda yang paling tampan dan paling
mencintai masjid di kota
Kufah pada masanya.
Sebagian besar
waktunya ia habiskan di
dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut
ilmu pada ulama
terkemuka kota Kufah.
Saat itu masjid adalah
pusat peradaban, pusat
pendidikan, pusat informasi dan pusat
perhatian. Pemuda itu terus larut
dalam samudera ayat
Ilahi. Setiap kali sampai
pada ayat-ayat azab,
tubuh pemuda itu
bergetar hebat. Air matanya mengalir deras.
Neraka bagaikan
menyala-nyala
dihadapannya. Namun
jika ia sampai pada ayat-
ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit
terasa bagai mengguyur
sekujur tubuhnya. Ia
merasakan kesejukan
dan kebahagiaan. Ia
bagai mencium aroma wangi para bidadari
yang suci. Tatkala sampai pada
surat Asy Syams, ia
menangis, fa alhamaha fujuuraha
wa taqwaaha. qad aflaha man
zakkaaha. wa qad khaaba man
dassaaha (maka Allah
mengilhamkan kepada
jiwa itu jalan kefasikan
dan ketaqwaan, sesungguhnya,
beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa
itu, dan sungguh merugilah
orang yang mengotorinya ) Hatinya bertanya-tanya.
Apakah dia termasuk
golongan yang
mensucikan jiwanya.
Ataukah golongan yang
mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang
beruntung, ataukah
yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali-
kali. Hatinya bergetar
hebat. Tubuhnya
berguncang. Akhirnya ia
pingsan. ***
Sementara itu, di pinggir
kota tampak sebuah
rumah mewah bagai
istana. Lampu-lampu
yang menyala dari
kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai
bintang gemintang.
Rumah itu milik seorang
saudagar kaya yang
memiliki kebun kurma
yang luas dan hewan ternak yang tak
terhitung jumlahnya. Dalam salah satu
kamarnya, tampak
seorang gadis jelita
sedang menari-nari riang
gembira. Wajahnya
yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar
yang terpancar bagai
tiga lentera yang
menerangi ruangan itu.
Kecantikannya sungguh
memesona. Gadis itu terus menari sambil
mendendangkan syair-
syair cinta, in kuntu ?asyiqatul lail fa ka ?si musyriqun bi dhau ? wal hubb al wariq (jika aku pencinta malam
maka gelasku memancarkan
cahaya dan cinta yang mekar ) ***
Gadis itu terus menari-
nari dengan riangnya.
Hatinya berbunga-
bunga. Di ruangan
tengah, kedua
orangtuanya menyungging senyum
mendengar syair yang
didendangkan putrinya.
Sang ibu berkata, Abu
Afirah, putri kita sudah
menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik
syair-syair yang ia
dendangkan. Ya, itu syair-syair cinta.
Memang sudah saatnya
dia menikah. Kebetulan
tadi siang di pasar aku
berjumpa dengan Abu
Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya,
Yasir. Bagaimana, kau terima
atau? Ya jelas langsung aku
terima. Dia ?kan masih kerabat sendiri dan kita
banyak berhutang budi
padanya. Dialah yang
dulu menolong kita
waktu kesusahan. Di
samping itu Yasir itu gagah dan tampan. Tapi bukankah lebih
baik kalau minta
pendapat Afirah dulu? Tak perlu! Kita tidak ada
pilihan kecuali menerima
pinangan ayah Yasir.
Pemuda yang paling
cocok untuk Afirah
adalah Yasir. Tapi, engkau tentu tahu
bahwa Yasir itu pemuda
yang tidak baik. Ah, itu gampang. Nanti
jika sudah beristri
Afirah, dia pasti juga
akan tobat! Yang
penting dia kaya raya. ***
Pada saat yang sama, di
sebuah tenda mewah, tak
jauh dari pasar Kufah.
Seorang pemuda tampan
dikelilingi oleh teman-
temannya. Tak jauh darinya seorang penari
melenggak lenggokan
tubuhnya diiringi suara
gendang dan seruling. Ayo bangun, Yasir.
Penari itu
mengerlingkan matanya
padamu! bisik temannya. Bebenarkah? Benar. Ayo cepatlah. Dia
penari tercantik kota ini.
Jangan kau sia-siakan
kesempatan ini, Yasir! Baiklah. Bersenang-
senang dengannya
memang impianku. Yasir lalu bangkit dari
duduknya dan beranjak
menghampiri sang penari.
Sang penari
mengulurkan tangan
kanannya dan Yasir menyambutnya.
Keduanya lalu menari-
nari diiringi irama
seruling dan gendang.
Keduanya benar-benar
hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra
penari itu membisikkan
sesuatu ketelinga Yasir, Apakah Anda punya
waktu malam ini
bersamaku? Yasir tersenyum dan
menganggukan
kepalanya. Keduanya
terus menari dan menari.
Suara gendang memecah
hati. Irama seruling melengking-lengking.
Aroma arak menyengat
nurani. Hati dan pikiran
jadi mati. ***
Keesokan harinya. Usai shalat dhuha, Zahid
meninggalkan masjid
menuju ke pinggir kota.
Ia hendak menjenguk
saudaranya yang sakit.
Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca
ayat-ayat suci Al-Quran.
Ia sempatkan ke pasar
sebentar untuk membeli
anggur dan apel buat
saudaranya yang sakit. Zahid berjalan melewati
kebun kurma yang luas.
Saudaranya pernah
bercerita bahwa kebun
itu milik saudagar kaya,
Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki
jalan yang membelah
kebun kurma itu. Tiba-
tiba dari kejauhan ia
melihat titik hitam. Ia
terus berjalan dan titik hitam itu semakin
membesar dan mendekat.
Matanya lalu
menangkap di kejauhan
sana perlahan bayangan
itu menjadi seorang sedang menunggang
kuda. Lalu sayup-sayup
telinganya menangkap
suara, Toloong! Toloong!! Suara itu datang dari
arah penunggang kuda
yang ada jauh di
depannya. Ia
menghentikan
langkahnya. Penunggang kuda itu
semakin jelas. Toloong! Toloong!! Suara itu semakin jelas
terdengar. Suara seorang
perempuan. Dan
matanya dengan jelas
bisa menangkap
penunggang kuda itu adalah seorang
perempuan. Kuda itu
berlari kencang. Toloong! Toloong
hentikan kudaku ini! Ia
tidak bisa dikendalikan! Mendengar itu Zahid
tegang. Apa yang harus
ia perbuat. Sementara
kuda itu semakin dekat
dan tinggal beberapa
belas meter di depannya. Cepat-cepat ia
menenangkan diri dan
membaca shalawat. Ia
berdiri tegap di tengah
jalan. Tatkala kuda itu
sudah sangat dekat ia mengangkat tangan
kanannya dan berkata
keras, Hai kuda makhluk Allah,
berhentilah dengan izin
Allah! Bagai pasukan
mendengar perintah
panglimanya, kuda itu
meringkik dan berhenti
seketika. Perempuan
yang ada dipunggungnya
terpelanting jatuh.
Perempuan itu
mengaduh. Zahid
mendekati perempuan itu
dan menyapanya, Assalamu ?alaiki. Kau tidak apa-apa? Perempuan itu
mengaduh. Mukanya
tertutup cadar hitam.
Dua matanya yang
bening menatap Zahid.
Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan, Alhamdulillah, tidak apa-
apa. Hanya saja tangan
kananku sakit sekali.
Mungkin terkilir saat
jatuh. Syukurlah kalau begitu. Dua mata bening di balik
cadar itu terus
memandangi wajah
tampan Zahid. Menyadari
hal itu Zahid
menundukkan pandangannya ke tanah.
Perempuan itu perlahan
bangkit. Tanpa
sepengetahuan Zahid, ia
membuka cadarnya. Dan
tampaklah wajah cantik nan memesona, Tuan, saya ucapkan
terima kasih. Kalau boleh
tahu siapa nama Tuan,
dari mana dan mau ke
mana Tuan? Zahid mengangkat
mukanya. Tak ayal
matanya menatap wajah
putih bersih memesona.
Hatinya bergetar hebat.
Syaraf dan ototnya terasa dingin semua.
Inilah untuk pertama
kalinya ia menatap
wajah gadis jelita dari
jarak yang sangat dekat.
Sesaat lamanya keduanya beradu
pandang. Sang gadis
terpesona oleh
ketampanan Zahid,
sementara gemuruh hati
Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu
tersenyum dengan pipi
merah merona, Zahid
tersadar, ia cepat-cepat
menundukkan
kepalanya. Innalillah. Astagfirullah, gemuruh
hatinya. Namaku Zahid, aku dari
masjid mau
mengunjungi saudaraku
yang sakit. Jadi, kaukah Zahid yang
sering dibicarakan orang
itu? Yang hidupnya
cuma di dalam masjid? Tak tahulah. Itu
mungkin Zahid yang
lain. kata Zahid sambil
membalikkan badan. Ia
lalu melangkah. Tunggu dulu Tuan
Zahid! Kenapa tergesa-
gesa? Kau mau kemana?
Perbincangan kita belum
selesai! Aku mau melanjutkan
perjalananku! Tiba-tiba gadis itu
berlari dan berdiri di
hadapan Zahid. Terang
saja Zahid gelagapan.
Hatinya bergetar hebat
menatap aura kecantikan gadis yang
ada di depannya. Seumur
hidup ia belum pernah
menghadapi situasi
seperti ini. Tuan aku hanya mau
bilang, namaku Afirah.
Kebun ini milik ayahku.
Dan rumahku ada di
sebelah selatan kebun ini.
Jika kau mau silakan datang ke rumahku.
Ayah pasti akan senang
dengan kehadiranmu.
Dan sebagai ucapan
terima kasih aku mau
menghadiahkan ini. Gadis itu lalu
mengulurkan
tangannya memberi sapu
tangan hijau muda. Tidak usah. Terimalah, tidak apa-
apa! Kalau tidak Tuan
terima, aku tidak akan
memberi jalan! Terpaksa Zahid menerima
sapu tangan itu. Gadis itu
lalu minggir sambil
menutup kembali
mukanya dengan cadar.
Zahid melangkahkan kedua kakinya
melanjutkan perjalanan. ***
Saat malam datang
membentangkan jubah
hitamnya, kota Kufah
kembali diterangi sinar
rembulan. Angin sejuk
dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di
kamarnya. Matanya
berkaca-kaca. Hatinya
basah. Pikirannya
bingung. Apa yang
menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di
kebun kurma hatinya
terasa gundah. Wajah
bersih Zahid bagai tak
hilang dari pelupuk
matanya. Pandangan matanya yang teduh
menunduk membuat
hatinya sedemikian
terpikat. Pembicaraan
orang-orang tentang
kesalehan seorang pemuda di tengah kota
bernama Zahid semakin
membuat hatinya
tertawan. Tadi pagi ia
menatap wajahnya dan
mendengarkan tutur suaranya. Ia juga
menyaksikan
wibawanya. Tiba-tiba
air matanya mengalir
deras. Hatinya
merasakan aliran kesejukan dan
kegembiraan yang belum
pernah ia rasakan
sebelumnya. Dalam hati
ia berkata, Inikah cinta? Beginikah
rasanya? Terasa hangat
mengaliri syaraf. Juga
terasa sejuk di dalam
hati. Ya Rabbi, tak aku
pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang
bernama Zahid. Dan
inilah untuk pertama
kalinya aku terpesona
pada seorang pemuda.
Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya
Rabbi, izinkanlah aku
mencintainya. Air matanya terus
mengalir membasahi
pipinya. Ia teringat sapu
tangan yang ia berikan
pada Zahid. Tiba-tiba ia
tersenyum, Ah sapu tanganku ada
padanya. Ia pasti juga
mencintaiku. Suatu hari
ia akan datang kemari. Hatinya berbunga-
bunga. Wajah yang
tampan bercahaya dan
bermata teduh itu hadir
di pelupuk matanya. ***
Sementara itu di dalam
masjid Kufah tampak
Zahid yang sedang
menangis di sebelah
kanan mimbar. Ia
menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya
dalam shalat. Ia tidak
tahu harus berbuat apa.
Sejak ia bertemu dengan
Afirah di kebun kurma
tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora
hatinya. Aura
kecantikan Afirah
bercokol dan mengakar
sedemikian kuat dalam
relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas
dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa
saja yang ia kerjakan. Ia
telah mencoba berulang
kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah
dengan melakukan
shalat sekhusyu ?- khusyu ?-nya namun usaha itu sia-sia. Ilahi, kasihanilah hamba-
Mu yang lemah ini.
Engkau Mahatahu atas
apa yang menimpa
diriku. Aku tak ingin
kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga
tahu, hatiku ini tak
mampu mengusir pesona
kecantikan seorang
makhluk yang Engkau
ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan
dengan daya tarik wajah
dan suaranya Ilahi,
berilah padaku cawan
kesejukan untuk
meletakkan embun- embun cinta yang
menetes-netes dalam
dinding hatiku ini. Ilahi,
tuntunlah langkahku
pada garis takdir yang
paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup
matiku untuk-Mu. Isak
Zahid mengharu biru
pada Tuhan Sang
Pencipta hati, cinta, dan
segala keindahan semesta. Zahid terus meratap dan
mengiba. Hatinya yang
dipenuhi gelora cinta
terus ia paksa untuk
menepis noda-noda
nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-
embun cinta itu semakin
deras mengalir. Rasa
cintanya pada Tuhan.
Rasa takut akan azab-
Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah.
Dan rasa tidak ingin
kehilangannya. Semua
bercampur dan mengalir
sedemikian hebat dalam
relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia
pingsan. Menjelang subuh, ia
terbangun. Ia tersentak
kaget. Ia belom shalat
tahajjud. Beberapa orang
tampak tengah asyik
beribadah bercengkerama dengan
Tuhannya. Ia menangis,
ia menyesal. Biasanya ia
sudah membaca dua juz
dalam shalatnya. Ilahi, jangan kau
gantikan bidadariku di
surga dengan bidadari
dunia. Ilahi, hamba lemah
maka berilah kekuatan! Ia lalu bangkit, wudhu,
dan shalat tahajjud. Di
dalam sujudnya ia berdoa, Ilahi, hamba mohon ridha-
Mu dan surga. Amin. Ilahi
lindungi hamba dari
murkamu dan neraka.
Amin. Ilahi, jika boleh
hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah
pada-Mu, hamba terlalu
lemah untuk
menanggung-Nya. Amin.
Ilahi, hamba memohon
ampunan-Mu, rahmat- Mu, cinta-Mu, dan ridha-
Mu. Amin. ***
Pagi hari, usai shalat
dhuha Zahid berjalan ke
arah pinggir kota.
Tujuannya jelas yaitu
melamar Afirah. Hatinya
mantap untuk melamarnya. Di sana ia
disambut dengan baik
oleh kedua orangtua
Afirah. Mereka sangat
senang dengan
kunjungan Zahid yang sudah terkenal
ketakwaannya di
seantero penjuru kota.
Afiah keluar sekejab
untuk membawa
minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia
mendengarkan dengan
seksama pembicaraan
Zahid dengan ayahnya.
Zahid mengutarakan
maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah. Sang ayah diam sesaat. Ia
mengambil nafas
panjang. Sementara
Afirah menanti dengan
seksama jawaban
ayahnya. Keheningan mencekam sesaat
lamanya. Zahid
menundukkan kepala ia
pasrah dengan jawaban
yang akan diterimanya.
Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah, Anakku Zahid, kau
datang terlambat.
Maafkan aku, Afirah
sudah dilamar Abu Yasir
untuk putranya Yasir
beberapa hari yang lalu, dan aku telah
menerimanya. Zahid hanya mampu
menganggukan kepala.
Ia sudah mengerti dengan
baik apa yang
didengarnya. Ia tidak
bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya.
Ia mohon diri dengan
mata berkaca-kaca.
Sementara Afirah, lebih
tragis keadaannya.
Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua
kakinya seperti lumpuh
seketika. Ia pun pingsan
saat itu juga. ***
Zahid kembali ke masjid
dengan kesedihan tak
terkira. Keimanan dan
ketakwaan Zahid
ternyata tidak mampu
mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia
dengar dari ayah Afirah
membuat nestapa
jiwanya. Ia pun jatuh
sakit. Suhu badannya
sangat panas. Berkali- kali ia pingsan. Ketika
keadaannya kritis
seorang jamaah
membawa dan
merawatnya di
rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya
terucap kalimat tasbih,
tahlil, istigfhar dan
Afirah. Kabar tentang derita
yang dialami Zahid ini
tersebar ke seantero kota
Kufah. Angin pun
meniupkan kabar ini ke
telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak
kalah besarnya
membuatnya menulis
sebuah surat pendek, Kepada Zahid, Assalamu ?alaikum Aku telah mendengar
betapa dalam rasa
cintamu padaku. Rasa
cinta itulah yang
membuatmu sakit dan
menderita saat ini. Aku tahu kau selalu
menyebut diriku dalam
mimpi dan sadarmu. Tak
bisa kuingkari, aku pun
mengalami hal yang
sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan
kuingin kaulah
pendamping hidupku
selama-lamanya. Zahid, Kalau kau mau. Aku
tawarkan dua hal
padamu untuk
mengobati rasa haus kita
berdua. Pertama, aku
akan datang ke tempatmu dan kita bisa
memadu cinta. Atau kau
datanglah ke kamarku,
akan aku tunjukkan
jalan dan waktunya. Wassalam Afirah
============================
============================
=======
Surat itu ia titipkan pada
seorang pembantu
setianya yang bisa
dipercaya. Ia berpesan
agar surat itu langsung
sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang
ketiga yang
membacanya. Dan
meminta jawaban Zahid
saat itu juga. Hari itu juga surat
Afirah sampai ke tangan
Zahid. Dengan hati
berbunga-bunga Zahid
menerima surat itu dan
membacanya. Setelah tahu isinya seluruh
tubuhnya bergetar hebat.
Ia menarik nafas
panjang dan beristighfar
sebanyak-banyaknya.
Dengan berlinang air mata ia menulis untuk
Afirah : Kepada Afirah, Salamullahi ?alaiki, Benar aku sangat
mencintaimu. Namun
sakit dan deritaku ini
tidaklah semata-mata
karena rasa cintaku
padamu. Sakitku ini karena aku
menginginkan sebuah
cinta suci yang
mendatangkan pahala
dan diridhai Allah ?Azza Wa Jalla ?. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin
mendamba yang sama.
Bukan sebuah cinta yang
menyeret kepada
kenistaan dosa dan
murka-Nya. Afirah, Kedua tawaranmu itu
tak ada yang kuterima.
Aku ingin mengobati
kehausan jiwa ini
dengan secangkir air
cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka.
Afirah, Inni akhaafu in
?ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ?adhim! ( Sesungguhnya aku
takut akan siksa hari
yang besar jika aku
durhaka pada Rabb-ku.
Az Zumar : 13 ) Afirah, Jika kita terus bertakwa.
Allah akan memberikan
jalan keluar. Tak ada
yang bisa aku lakukan
saat ini kecuali menangis
pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah
pahala. Namun aku
sangat yakin dengan
firmannya : Wanita-wanita yang
tidak baik adalah untuk
laki-laki yang tidak
baik, dan laki-laki yang
tidak baik adalah buat
wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan
wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-
laki yang baik dan laki-
laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka
(yang dituduh) itu bersih
dari apa yang
dituduhkan oleh mereka.
Bagi mereka ampunan
dan rizki yang mulia (yaitu surga). Karena aku ingin
mendapatkan seorang
bidadari yang suci dan
baik maka aku akan
berusaha kesucian dan
kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang
menentukan. Afirah, Bersama surat ini aku
sertakan sorbanku,
semoga bisa jadi pelipur
lara dan rindumu. Hanya
kepada Allah kita
serahkan hidup dan mati kita. Wassalam, Zahid Begitu membaca
jawaban Zahid itu
Afirah menangis. Ia
menangis bukan karena
kecewa tapi menangis
karena menemukan sesuatu yang sangat
berharga, yaitu hidayah.
Pertemuan dan
percintaannya dengan
seorang pemuda saleh
bernama Zahid itu telah mengubah jalan
hidupnya. Sejak itu ia
menanggalkan semua
gaya hidupnya yang
glamor. Ia berpaling dari
dunia dan
menghadapkan wajahnya sepenuhnya
untuk akhirat. Sorban
putih pemberian Zahid ia
jadikan sajadah, tempat
dimana ia bersujud, dan
menangis di tengah malam memohon
ampunan dan rahmat
Allah SWT. Siang ia
puasa malam ia habiskan
dengan bermunajat pada
Tuhannya. Di atas sajadah putih ia
menemukan cinta yang
lebih agung dan lebih
indah, yaitu cinta kepada
Allah SWT. Hal yang
sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah.
Keduanya benar-benar
larut dalam samudera
cinta kepada Allah SWT. Allah Maha Rahman dan
Rahim. Beberapa bulan
kemudian Zahid
menerima sepucuk surat
dari Afirah : Kepada Zahid, Assalamu ?alaikum, Segala puji bagi Allah,
Dialah Tuhan yang
memberi jalan keluar
hamba-Nya yang
bertakwa. Hari ini
ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan
Yasir. Beliau telah
terbuka hatinya.
Cepatlah kau datang
melamarku. Dan kita
laksanakan pernikahan mengikuti sunnah
Rasululullah SAW.
Secepatnya. Wassalam, Afirah Seketika itu Zahid sujud
syukur di mihrab masjid
Kufah. Bunga-bunga
cinta bermekaran dalam
hatinya. Tiada henti
bibirnya mengucapkan hamdalah.
Cukup sekian dan terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar