Selasa, 22 Mei 2012

Posted by Byyou Pradana On 21.57

Di malam yang sunyi ini aku sendiri...hehe malah nyanyi saya berkesempatan berbagi cerita yang bisa dijadikan teladan karena saya sudah mengantuk dan tulisannya berantakan silahkan anda download saja (saran saya,,hehehe) semoga bermanfaat :)
password : byyoupradana
Dalam Mihrab Cinta
(Sebuah "Petikan" Roman Pembangun Jiwa)
Habiburrahman El Shirazy
qon yang terletak di daerah Pagu, Kediri, Jawa Timur
Siang itu Pesantren Al Fu rgeger. Pengurus Bagian Keamanan menyeret seorang santri yang diyakini
itu. Santri itu mengaduh dan minta ampun. "Ampun, to
mencuri. Beberapa orang santri terus menghajar santri berambut gondron glong jangan pukul saya. Saya tidak mencuri!" Santri yang mukanya sudahberdarah-darah itu mengiba. 87 Satu
eram. "Sungguh, bukan saya pelakunya." Si Rambu
"Ayo mengaku. Kalau tidak kupecahkan kepalamu!" Teriak seorang santri berkopiah hitam dengan wajah sangat gt Gondrong itu tetap tidak mau mengaku. Serta merta dua bogem melayang ke wajahnya. "Nich rasain pencuri!" teriak Ketua Bagian Keamanan
gudang pesantren yang dijaga beberapa santri. Ked
yang turut melayangkan pukulan. Si Rambut Gondrong mengaduh lalu pingsan. * * * Menjelang Ashar, si Rambut Gondrong siuman. la dikunci d iua tangan dan kakinya terikat. Airmatanya meleleh. la meratapi nasibnya. Seluruh tubuhnya sakit. la merasa kematian telah berada di depan mata.
itu sampai mampus!" "Wong maling kok ngaku-ngaku
Di luar gudang para santri ramai berkumpul. Mereka meneriakkan kemarahan dan kegeraman. "Maling jangan diberi ampun!" "Hajar saja maling gondron gsantri. Ini kurang ajar. Tak bisa diampuni!" la menangis mendengar itu semua. Sepuluh menit kemudian pintu gudang terbuka. la sangat ketakutan.
enahan mereka dengan sekuat tenaga. Pak Kiai, pengasuh pesan
Tanpa ia sadari ia kencing di celana karena saking takutnya. Para santri yang didera kemarahan meluap hendak menerobos masuk. Tapi Lurah Pondok mtren masuk dengan wajah dingin. Beliau diikuti empat pengurus. Satu di antaranya Ketua Bagian Keamanan. Lampu gudang dinyalakan. Pintu gudang lalu ditutup oleh Lurah Pondok. Pak Kiai berdiri tepat di
ian Keamanan." Ketua Bagian Keamanan membuk
hadapannya. Empat pengurus dan Lurah Pondok mengambil posisi mengelilingi si Gondrong. "Ini Pak Kiai pencuri yang selama ini menjarah barang-barang para santri. Baru tadi siang ditangkap basah oleh Ba ga pengadilan. "Siapa namamu?" tanya Pak Kiai. Karena jumlah santri putra ada seribu lima ratus santri, Pak Kiai tidak hafal nama semua santrinya. Si Rambut Gondrong menjawab pelan, "Syamsul... Syamsul Hadi, Pak Kiai."
ari si Burhan di kamar 17 Pak Kiai. Di k
"Nama yang sangat bagus. Benar kamu yang mencuri?" Syamsul menggelengkan kepala. Ketua Keamanan marah, "Dia,memang orangnya sangat bandel Pak Kiai. Dia tidak mau mengaku, tapi kami menangkap basah dia sedang membuka le mamar 17 sudah dua orang kehilangan uang. Saat itu kamar sepi, kami yang memang memasang orang di atas eternit melihatnya membuka lemari Burhan." "Benarkah kau membuka lemari Burhan?" tanya Pak Kiai pelan. "Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri."
au si Syamsul tertangkap karena membuka lemarinya?
"Lantas untuk apa?!!" bentak Ketua Bagian Keamanan garang. 88 89 "Karena saya diminta untuk mengambilkan uang oleh Burhan Pak Kiai." Jawab Syamsul. "Hmm...Burhan ada?" tanya Pak Kiai sambil melihat Ketua Bagian Keamanan. Ada, Pak Kiai." "Dia tahu ka l" "Tahu Pak Kiai." Pak Kiai manggut-manggut dan mengerutkan dahi. "Panggil Burhan kemari!" pinta Pak Kiai. "Baik Pak Kiai." Ketua Bagian Keamanan lalu bergegas keluar. * * * Syamsul berharap Burhan mau menjelaskan semuanya. Namun dalam hati ia bertanya-tanya, Burhan tahu
ilkan uangnya. Dengan penjelasan Burhan itu ia be
kalau dirinya tertangkap kenapa tidak menjelaskan semuanya. Apa karena Burhan takut pada amarah para santri. Atau...? Ia tidak bisa banyak memprediksi. Seluruh tubuhnya terasa ngilu. Ia berharap di hadapan Pak Kiai, Burhan menjelaskan bahwa ia memang diminta Burhan mengam brharap namanya dibersihkan dan semua santri yang telah berlaku aniaya padanya diberi hukuman, paling tidak harus minta maaf. Burhan datang dengan wajah sedikit pucat. Namun masih tampak tenang. Ia sama sekali tidak memandang Syamsul yang sedang berdarah-darah kesakitan. "Burhan ke sini!" pinta Pak Kiai. 90
benar?" Syamsul
Burhan mendekat. "Kau sudah tahu apa yang terjadi? Kenapa Syamsul diadili dan kenapa kau dibawa kemari?" lanjut Pak Kiai. "Iya Pak Kiai." "Kau harus jujur. Karena kejujuran mendatangkan kebaikan. Dan kedustaan mendatangkan petaka. Syamsul ini mengaku bahwa kau memintanya mengambilkan uangmu di lemarimu, apa menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut temannya itu. Ia berharap temannya itu jujur, mengatakan yang sebenarnya. Dengan suara bergetar Burhan menjawab, "Ti...tidak benar Pak Kiai!" Syamsul kaget bagai disambar geledek. Dengan penuh amarah dia berteriak, "Teganya kau Bur... Kau santri atau bajingan?! Dancok kau Bur!"
dengan suara lantang. Kedua matanya menyala sep
"Diam kau maling! Kau yang jelas bajingan bukan Burhan!" bentak Bagian Keamanan. "Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan uangnya untuk beli baju dan mentraktir saya. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa saya jika saya berdusta!" Syamsul bersumpah erti mata elang. Pak Kiai agak kaget. Beliau langsung memandang Burhan, "Burhan karena Syamsul sudah berani bersumpah. Kau harus berani juga bersumpah bahwa apa yang 91 kaukatakan benar. Jika tidak maka kau bersalah. Kau akan dapat hukuman atas kedustaanmu. Sebab kedustaanmu itu telah mencelakakan orang lain." Dengan tenang Burhan menjawab, "Penjahat akan
n melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya"
melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak Kiai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang baru saja saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga segala laknat Allah menimpa saya." Saat mengucapkan sumpah itu, dalam hati Burhan mengatakan yang dimaksud dengan kata-katanya "bahwa yang baru saja saya katakan benar" adalah perkataannya "penjahat ak abukan yang lain. Tak ada yang tahu hal itu kecuali Burhan. Syamsul meneteskan airmata. Hatinya sangat sakit. Rasa sakit hatinya melebihi seluruh sakit di sekujur tubuhnya yang berdarah-darah. "Baiklah, semuanya lebih jelas. Untuk memutuskan siapa yang sesungguhnya harus dihukum, silakan pengurus bermusyawarah. Dan sekalian tentukan hukuman yang paling bijak." Kata Pak Kiai sambil
yang canggih!" Burhan lalu pergi. Para pengurus
memandang wajah para pengurus. Lalu beliau pergi. Setelah Pak Kiai pergi, Syamsul berteriak-teriak marah. Andai kedua tangan dan kakinya tidak diikat tentu ia akan mengamuk. "Burhan, kaulah bajingan paling jahat! Kau tega memfitnah temanmu! Ingat Burhan, Allah tidak tuli! Allah tidak tidur!" Burhan menjawab tenang sambil memandang ke Lurah Pondok, "Penjahat ulung itu bisa beraktin gjuga meninggalkan gudang. Mereka menuju kantor untuk rapat. Akhirnya diputuskan, Syamsul dihukum gundul dan kemudian dikeluarkan dari pesantren. Pengurus bergerak cepat. Lurah Pondok menelpon ayah Syamsul, seorang pengusaha batik sukses di Pekalongan. Yang lain menyiapkan acara eksekusi penggundulan. Keputusan rapat pengurus itu ditulis resmi. Diketik rapi. Ditandatangani oleh Lurah Pondok,
Syamsul Hadi terbukti bersalah melakukan kej
Sekretaris Pondok, Ketua Bagian Keamanan, dan Pengasuh Pondok Pesantren. Sore itu juga Syamsul diambil dari gudang. Di halaman pondok telah disiapkan kursi yang diletakkan di tengah garis melingkar. Syamsul digiring dan didudukkan di kursi itu. Para santri menyaksikan eksekusi penggundulan itu dari luar garis. Bagian Keamanan membacakan hasil keputusan: "...dengan ini diputuskan bahwa Saudar aahatan pencurian yang dilarang agama dan melanggar tata tertib pesantren. Karenanya ia dikeluarkan dengan tidak hormat dari pesantren, dengan sebelumnya dihukum takzir yaitu digundul untuk dijadikan pelajaran bagi santri yang lain." Para santri bersorak sorai. Kata-kata sumpah serapah keluar menghujat Syamsul. Syamsul benar-benar sangat terpukul. Ketika gunting bagian keamanan mulai mencowel-cowel rambut kepalanya ia menangis. Sepuluh
, Pak. Inilah tata tertib yang telah kita sepakati bersa
menit kemudian eksekusi itu selesai. Syamsul dibawa lagi ke dalam gudang. Dua orang pengurus membawa seember air dan menyuruhnya mandi. Ikatan di tangan 92 93 dan di kakinya dilepas. Semua barang Syamsul telah dikemas rapi dan diletakkan di gudang. Jam sebelas malam orangtua Syamsul datang. Pak Kiai menemui di ruang tamu pesantren. Syamsul berikut barang-barangnya dihadirkan. Pak Kiai dan Lurah Pondok menjelaskan semuanya. "Maafkan kam ima. Syamsul terbukti mencuri maka harus dikeluarkan." Kata Lurah Pondok santun. "Kita mengenal wejangan orangtua kita dulu, jika ada satu rayap di kapal maka harus segera dibuang. Kalau tidak rayap itu bisa menjadi banyak, menggerogoti kapal dan bisa menenggelamkan kapal serta membinasakan seluruh penumpangnya. Itulah yang saat ini kami lakukan. Rayap itu harus dibuang..." Ketua Bagian Keamanan menimpal. "Saya berharap, ini jadi pelajaran bagi Syamsul. Dan
jika sampai di rumah nanti. Namanya memang telah rus
setelah ini Syamsul berubah. Saya melihat Syamsul ini punya potensi untuk baik dan maju." Kata Pak Kiai bijaksana. Ayah Syamsul, Pak Bambang, sangat malu dan marah. Di ruang itu juga ia menampar anaknya berkalikali, "Anak tak tahu diri! Apa masih kurang Papa memberimu uang saku dan lain sebagainya. Kurang uang tinggal minta, kenapa malah maling!" Plak! Plak! Plak! Syamsul meringis. Ia diam saja. Ia merasa tak ada gunanya membela. Ia akan menjelaskan semuany aak. 94 Ia benar-benar hancur di pesantren itu. Tapi ia berharap tidak hancur di tempat lain. Sebelum ia meninggalkan ruangan itu ia tegakkan kepala dan berkata setenang mungkin, "Pak Kiai, Panjenengan sudah melakukan tindakan zalim dengan memperlakukan saya seperti ini. Panjenengan belum melakukan tabayun yang sesungguhnya. Dan kalian para pengurus yang memutuskan hukuman untuk saya dengan semena-mena, dengar baik-baik, kalian telah melakukan dosa besar! Kesalahan besar! Ini hak adami.
pesantren. Namun penjelasannya itu tidak bisa diterima
Suatu saat kalian akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kalian akan tahu kelak siapa sebenarnya rayap itu. Dan aku tidak akan memaafkan dosa kalian semua kecuali kalian mencium telapak kakiku!" Mendengar hal itu Ketua Bagian Keamanan hanya geleng-geleng kepala. Pak Kiai tersentak, ada keraguan berbalut kekuatiran menyusup dalam hatinya, namun diam saja. * * * Sampai di rumah ia ternyata juga menemukan hal yang sama. Ia menegaskan bahwa ia terfitnah. Ia tidak pernah mencuri di oleh seluruh anggota keluarganya. Kemarahan ayahnya juga tidak reda. Kedua kakak dan ibunya lebih percaya pada keputusan pesantren. "Sudah lebih baik kau mengakui dosamu itu dan bertaubat. Sesali perbuatanmu itu dan jangan keras kepala!" Kakak sulungnya yang sudah punya dua anak itu marah. 95 Hanya adiknya, Nadia, yang tidak berkomentar. Nadia lebih merasa iba pada kondisi kakaknya. "Apa tidak sebaiknya dibawa ke dokter untuk diobatkan Ma. Kasihan Kak Syamsul." Kata Nadia. Pak Bambang langsung menyahut garang, "Kita
a aku tidak mencuri, Nadia?" Tanya Syamsul. Nadia diam.
tidak perlu kasihan sama maling. Biar dia rasakan akibat kejahatannya!" Tak ada yang berani membantah. Bu Bambang masih tampak marah. Rasa marahnya saat itu mengalahkan rasa kasihan pada anaknya itu. Syamsul istirahat di kamarnya dengan mata berkaca-kaca. Jika keluarga sudah tidak lagi percaya padanya. Apalah arti hidup di dunia ini. Nadia masuk ke kamarnya membawa peralatan P3K. la bersihkan luka-luka kakaknya dengan air mineral, lalu dengan rivanol. Setelah itu ia oleskan Betadine. "Apakah kau juga tidak percaya bah wTidak menjawab. "Jawab Nadia, aku butuh seseorang yang menguatkan aku. Aku bisa gila!" Seru Syamsul serak. "Sudahlah, Kak. Jangan bahas itu lagi. Yang penting kakak sembuh dulu. Nadia akan rawat kakak. Kakak jangan kecil hati, selama Allah bersama kakak, maka kakak jangan takut bahwa semua manusia memusuhi kakak." "Jadi kau percaya bahwa bukan aku pencurinya? Kau percaya penjelasanku, Nadia." 96 "Itu tidak penting, Kak. Saya ingin kakak berubah lebih baik. Dan Nadia akan selalu menganggap Kak Syamsul adalah kakak Nadia." Syamsul kecewa. Nadia pun tidak juga mempercayainya.
u
97 Nadia membaca surat dari kakaknya itu dengan airmata bercucuran. la langsung berteriak-teriak memanggil Mamanya. Sang Mama datang tergopohgopoh, begitu membaca surat itu rasa keibuannya terbit. la pun menangis. Namun Sang Ayah dan kedua kakak Nadia malah geram dan marah. "Kita harus cari Syamsul, Pa. Kelihatannya dia memang tidak bersalah. Kita harus berdiri bersama anak kita, Pa." Kata Bu Bambang. "Iya, Pa. Kita bisa minta polisi mengusut kasus di pesantren itu. Kalau Kak Syamsul tidak bersalah kan berarti dia dianiaya." Tambah Nadia. 98 "Kalian ini, dasar perempuan, ba rmembaca surat gombal kayak gitu saja berubah. Itu hanya akting si Syamsul. Aku sudah tidak percaya lagi sama anak brengsek itu!" Jawab Pak Bambang marah. "Kita lihat saja dulu perkembangannya. Paling dua hari lagi Syamsul juga pulang." Sahut kakak pertama. "Iya Syamsul telah memilih jalannya. Dia sudah dewasa. Sudah lulus SMA. Biarkan ini semua jadi pembelajaran baginya." Imbuh kakak kedua. Jika sudah demikian Bu Bambang dan Nadia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya saja dalam hati Bu Bambang berdoa semoga Syamsul anaknya baik-baik saja, dan mau pulang kembali. * * *
khirnya ia nekat. Ia naik bus mini warna kuning
Sudah satu minggu Syamsul pergi. la mengelana di Kota Semarang. Tidur dari masjid ke masjid. Makan seadanya. Dengan berbekal ijazah SMA ia melamar pekerjaan dari kantor ke kantor, pabrik ke pabrik, tapi belum juga diterima. Sebab semua pabrik mensyaratkan ada keterangan surat kelakuan baik dari kelurahan. Berarti ia harus pulang. Dan itu yang tidak mau ia lakukan. Ia sudah berusaha mencari kerja, tapi tak juga dapat. Akhirnya timbul dalam pikirannya, mungkin jalannya untuk makan adalah dengan mencuri, mencopet dan menjambret. Ia masih maju mundur melakukan hal itu. Ajurusan Mangkang-Penggaron. Sampai di Jrakah ia melakukan aksi perdananya. Mencopet. 99 Dan.. .naas! Korbannya waspada. la ketahuan. la langsung lompat dari bus. Bus berhenti. Semua orang berterikteriak, "Copet, copet!" Orang yang mendengar hal itu langsung berlarian mengejarnya. la lari ke arah Ngaliyan. Terus berlari. Sampai dekatkampus dua IAIN Walisongo, ia tertangkap. la babak belur dihakimi massa. Untung ada patroli polisi. Nyawanya diselamatkan oleh polisi. Berita tertangkapnya dirinya di Ngaliyan masuk koran terkemuka di Jawa Tengah, Suara Mahardika. Juga
" kata Nadia. "Kamu itu masih bau kencur. Tahu apa m
masuk berita televisi. Untung ia tidak bawa KTP. KTP dan semua barangnya ia titipkan pada seorang takmir masjid tua di dekat Pasar Bulu. Ia mengaku bernama Burhan. Dari Jakarta. Keluarganya di Pekalongan membaca isi koran dan melihat berita itu. Mereka tersentak. Bu Bambang menangis, "Ia benar-benar jadi pencuri!" Pak Bambang dan kedua kakaknya mengatakan, "Sudahlah ia kita ikhlaskan. Untung dia memakai nama samaran, jadi tidak mencemarkan nama keluarga." Hanya Nadia yang tidak percaya. "Saya yakin copet itu bukan Kak Syamsul. Itu orang lain yang mirip Kak Syamsul ,asalah dunia kriminal, Nadia!" Sengit kakak kedua. Nadia tidak bisa menjawab. Dalam hati ia ingin membuktikan bahwa anggapannya benar. * * * 100 Sejak itu ia mendekam di penjara Polsek Semarang Tugu. Ia satu sel dengan dua orang narapida yang tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua narapidana itu mengajaknya untuk bergabung dalam komplotannya. Ia pura-pura mengiyakan, sebab ia takut jadi bulan-bulanan mereka. Ia diberi tahu trik-trik mencuri sepeda motor yang canggih. Juga trik-trik mencuri rumah orang kaya. "Di daerah Papandayan dan Candi, Semarang atas, banyak rumah mewah. Jika kita berhasil menggasak satu
ren
101 Dua rumah saja. Kita bisa kaya mendadak." Kata napi berkumis tebal. Ia lalu diberi tahu peta daerah-daerah strategis untuk beroperasi. Ia masihbimbangbagaimana meneruskan hidup. Ia teringat cita-citanya. Ingin jadi mubaligh ternama sekaligus pengusaha Muslim yang berhasil. Maka setelah lulus SMA ia minta masuk pesantren sambil kuliah. Ia memilih pesantren di Kediri. Waktu di SMA memang ia agak nakal. Tapi dalam hati terkecil, citacitanya adalah jadi mubaligh. Dan kejadian di pesantren itu mengubah segalanya. Ia teringat Burhan. Anak pengusaha dari Jakarta itulah sumber petakanya. Ia dijebak Burhan, saat pesan t sedang panas oleh kejadian beberapa pencurian. Uang santri hilang. Ia jadi kambing hitam. Dan kini ia benarbenar mendekam jadi pencuri. Sudah satu minggu ia dipenjara. Ia mulai bosan. Napi berkumis tebal berkata padanya, "Kau tenang saja Bur. Minggu depan bos kami akan datang. Dia akan menebus kami. Kau akan kami usahakan ikut ditebus. Tapi konsekuensinya, kau harus ikut memperkuat kami." Ia mengangguk. Jika itu benar-benar terjadi, ia memang benar-benar akan masuk di dunia hitam. Ia berdoa semoga ada mukjizat yang mengeluarkannya dari penjara. Tapi ia tidak bisa mengelak dari kejahatannya
agap tidak percaya. "Tenang. Aku kakakmu, Nadi
mencopet. Ia diputuskan mendekam di sel selama enam bulan. Satu bulan pertama ia akan menjalaninya di Polsek Tugu. Dan ada kemungkinan dipindah ke Penjara Kedungpane. 102 Siang itu ia baru saja menyantap jatahnya makan siang. Seorang polisi datang dan membawanya keluar. Di ruang tamu ia melihat seorang gadis berjilbab. Hatinya berdesir. Nadia. Antara gembira dan sedih terbit dalam hatinya. Gembira bertemu adiknya, sedih karena kini adiknya tahu ia benar-benar seorang kriminil. "Nadia!" Serunya pada adiknya. Nadia menoleh ke arahnya. Kaget. Tidak percaya. "Kau.. .kaubukanKakSs.. .s..." Nadia ga." Nadia menggeleng-gelengkan kepala dan menangis. "Tidak.. .tidak.. .tidak, Kak!" "Tenang Nadia, beri kesempatan aku bercerita. Mari kitabicara dengan tenang." Nadia duduk tenang. Airmatanya bercucuran. "Kau sendirian, Nadia?" Nadia mengangguk. "Keluarga semua baik?" Nadia kembali mengangguk. "Apa mereka sudah tahu aku disel?" "Begitu membaca koran Suara Mahardika dan menonton berita di televisi mereka semua yakin yang tertangkap adalah kakak, meskipun memakai nama Burhan. Hanya aku yang tidak percaya, maka aku kemari. Ternyata dugaanku salah. Kakak memang seorang penjahat!" Syamsul menangis. 103
ik Kak." la lalu bernegosiasi dengan polisi. Ka
"Maafkan aku Nadia. Demi Allah ini yang pertama kali aku lakukan. Dan aku berharap yang terakhir kalinya." Syamsul lalu menjelaskan perjalanan hidupnya sejak pergi dari rumah sampai kehabisan uang. Dan kejadian di Ngaliyan itu. "Tolonglah aku, Adikku." Nadia diam. Rasa kasihannya keluar setelah mendengar cerita kakaknya. "Hanya kau yang kuharapkan, Adikku.Tolonglah!" "Bagaimana aku bisa menolongmu Kak?" "Tebuslah aku biar aku bisa keluar dari sini." "Berapa Kak?" "Kau bawa kartu ATM?" "Iya." "Isinya berapa?" "Tiga juta." "Baik. Biar aku negosiasi dengan polisi dulu. Baru kauambil uang di ATM ya." "B arena ia sudah belajar cara negosiasi dengan polisi, maka urusannya mudah. Apalagi ia menyebut seorang nama yang ia dapat dari kedua napi itu. Nama itu dikenal sebagai beking para kriminal. Akhirnya ia bisa keluar dari penjara dengan menebus cuma duajuta lima ratus. Ia berterima kasih kepada adiknya. Dan ketika adiknya mengajaknya pulang, ia tidak mau. "Mereka pasti sudah tidak sudi melihat mukaku." 104 "Tenang, Kak. Mereka akan Nadia yakinkan bahwa yang dipenjara itu bukan kakak. Tapi Burhan. Orang yang mirip kakak. Mereka kan tidak tahu kalau kakak sudahbebas. Kakak bilang saja tidak pernah dipenjara.
. Ia merasa karena terlanjur nekat maka ia harus
Nadia tidak akan membocorkan hal ini pada mereka. la tetap tidak mau. Nadia memberinya uang lima ratus ribu, lalu kembali ke Pekalongan dengan perasaan sedih. Syamsulberharap akan menemukan cahaya yang terang dalam hidupnya. 105 Syamsul merasa tidak bisa bertahan di Semarang. la ingin mengadu nasib yang lebih baik di tempat lain. Maka dengan bus ekonomi ia nekat pergi ke Jakarta setelah mengambil barang-barangnya di masjid dekat PasarBulu. Sampai di Jakarta ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tiba di Lebak Bulus pagi buta. Bingung mau ke mana. Setelah shalat Subuh ia berjalan-jalan di terminal melihatliha tnekat. Akhirnya ia nekat naik angkot jurusan Parung. Ia ingin mencari masjid. Ia ingin tinggal di masjid. Sampai di Parung ia turun, lalu berjalan kaki mencari masjid. Bertemu dengan sebuah masjid ia utarakan keinginannya untuk tinggal. "Mungkin saya bisa bantu-bantu menjaga dan membersihkan masjid. Kebetulan saya dulu dari pesantren." Katanya pada orang yang ada di masjid. "Maaf Dik, kebetulan sudah ada yang tinggal di sini. Dua orang malah. Juga dari pesantren. Sekarang sedang kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Maaf kami tidak nambah orang." la kecewa. Berkali-kali ia temukan masjid. la utarakan niatnya. Dan jawabannya mirip: tidak
amsul. Oh ya nama saya Abbas. Panggil saja Pak Abbas.
menerima tambahan orang. Di masjid yang terakhir, saat itu menjelang Ashar, dan dia sangat kelelahan, takmir masjid menyarankan agar dia mengontrak rumah saja. "Adik kan bisa mencari kerja. Tidak harus tinggal di masjid. Adik cari saja kontrakan di dekat masjid ini. Kalau kami perlu bantuan, Adik, kami bisa panggil Adik. Kalau tinggal di masjid tidak bisa. Kamarnya cuma satu dan telah ditempati Pak Ali, imam masjid ini, bersama isteri dan anaknya. Gimana Dik? Nanti saya bantu cari yang murah. Oh ya siapa tadi nama Adik?" Pada bapak yang halus budi itu, ia tidak berani berdusta, "Nama saya Syamsul Pak." "Ya jadi begitu saran saya Dik S yKebetulan saya Ketua RT 2 di perumahan ini." Akhirnya ia ikut saran Bapak itu. Ia mendapatkan rumah satu kamar. Sewa per tahunnya dua juta. Ia menggigitbibir. "Saya cuma punya empat ratus ribu, Pak." "Baik. Pemilik rumah ini mengatakan katanya bisa dicicil empat kali. Sekali cicil berarti lima ratus ribu. Kamu ada empat ratus, bagaimana kalau yang seratus ribu saya usahakan. Adik bisa bayar kapan saja adik ada. Tapi cicilan selanjutnya adik usaha sendiri." 106 "Saya pinjam tiga ratus ya Pak. Biar saya ada pegangan bulan ini." "Oboleh." Jadilah ia menyewa rumah. Sejak hari itu ia tinggal di sebuah perumahan tak jauh dari Parung. Ia mulai kenal
apat dua itu bagus. Yang ketiga dan keempat biasan
dengan masyarakat. Namun sudah satu bulan ia belum juga dapat kerjaan. Uang pegangannya tinggal lima kali makan. Ia bingung. Ia hams berbuat apa. Cicilan rumah bulan depan juga belum ada. Akhirnya ia berkata pada diri sendiri, "Aku haras nekat. Minta belas kasihan orang itu mental pecundang!" Hari itu ia naik anggot ke Lebak Bulus. Lalu naik Kopaja yang sesak penumpang. Ia nekat mengamalkan 'ilmu' yang didapat dari dua napi saat ia dipenjara. Berhasil! Seorang cewekberambutkeriting jadi korban. Ia lalu beroperasi di bus yang lain. Berhasil! Seorang ibuibu setengah baya berpakaian modis jadi korban. "Kalau mencopet jangan terlalu tamak. Sehari dya hilang konsentrasi." Ia teringat kata-kata napi berkumis tebal. Ia merasa harus pulang. Sampai di kontrakan ia Wrung hasil jarahannya. Dari dompet cewek keriting cuma lima puluh ribu. Tapi ada kartu ATM-nya. Dari dompet ibu-ibu setengah baya modis, lumayan, enam ratus ribu. Semuanya serarus ribuan, enam. Ada KTP dan SIM-nya. Ia ambil uang itu, ia masukkan ke dalam dompetnya. Sementara dompet korbannya ia simpan di laci almari. Meskipun diliputi rasa berdosa ia merasa lebih tenang. Malam harinya ia pergi ke pemilik rumah nyicil 107 kontrakan. Hari berikutnya ia melakukan hal yang sama. Dapat cuma satu korban. Ia pulang. Ia tak mau ambil
u berlaku." Ia ingat Burhan sudah serius dengan Dalmayant
risiko. Korbannya kali ini seorang cewek berjilbab modis, kelihatannya mahasiswi. Ya, mahasiswi setelah ia lihat ada kartu mahasiswanya. Cantik juga, katanya dalam hati ketika melihat fotonya. Ada foto yang lain. Foto mahasiswi itu dengan seorang pria. Mungkin pacarnya, gumamnya. Ia terkesiap. "Tunggu, agaknya aku kenal dengan lelaki ini." Katanya. Ia amati dengan seksama, "Benar. Ini si Bajingan Burhan itu. 0 jadi ini pacar atau calon isterinya yang lain." Ia semakin yakin ketika membaca tulisan di balik foto berukuran 6x8 itu. "Silvie bersama Mas Burhan di Sby." Ia tersenyum. Ia penasaran. Ia lihat KTP cewek itu. "Ini saatnya perhitungan ki, santriwati dari Tulungagung. Putri seorang kepala KUA. "Burhan ini benar-benar buaya! Tidak bisa dibiarkan!" Setelah mengambil uang dan KTP dari dompet korbannya ia melangkah keluar sambil menenteng tas ranselnya. Sekalian shalat Ashar ia hendak pinjam kendaraan pada Pak Abbas. Ia ingin mencari alamat yang ada di KTP itu yang kelihatannya tidak jauh dari tempat ia tinggal. Cewek itu ringgal di Villa Gratia, Parung bagian timur. Sementara dirinya ada di Parung bagian barat. Bakda Ashar ia meluncur dengan sepeda motor Pak Abbas. Tak lama ia temukan Villa Gratia itu. Perumahan elite. Pintu masuknya dijaga satpam. Ia tak jadi masuk. Ia terus saja jalan. Ia harus berpenampilan yang tidak 108
napi berkumis tebal, "Jangan pernah mengatakan sasaran
mencurigakan. Ia teringat di ranselnya ada kopiah putih yang biasa ia pakai kalau shalat. Ia pakai kopiah itu baru pakai helm. Ia lihat alamat rumah cewek itu. Jl. Flamboyan 19. Ia tersenyum. Ia sudah mantap menghadapi satpam. Ia kembali ke Villa Gratia. Ketika mau masuk satpam menghentikannya. Ia lepas helmnya, sehingga tampak ia pakai kopiah. Seketika satpam bersikap lebih ramah. "Mau ke mana Pak Ustadz? Ke rumah siapa?" tanya satpam itu. Ia tersenyum dalam hati. "Baru pakai kopiah saja langsung dipanggil ustadz. Wah boleh juga ini, aku ternyata bakat jadi ustadz juga." Batinnya. "Mm. Saya mau ke Flamboyan 17." Jawabnya mantap. Sengaja ia tidak bilang Flamboyan 19. Ia teringat pada nasiha t kita sebenarnya kepada siapapun saat observasi! Termasuk ketika bertanya atau menjawab pertanyaan." "O mau ke rumah Pak Broto ya. Jadi si Kecil Dela itu sudah mau ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat ustadz, padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Kata satpam itu. "Iya. Alhamdulillah. Nanti kalau dengar ada yang mencari guru ngaji bisa bilang saya ya." Ia tersenyum. "Ya, insya Allah, Ustadz, tapi komisinynya, Ustadz." "Beres, Pak." Ia lalu masuk dengan tenang. Rumah-rumah di perumahan itu mewah semua. Seperti istana. Ia masuk 109 Jalan Flamboyan. Rumah bernomor 19, luar biasa besar. Dalam hati ia berkata, "Si Burhan bajingan itu beruntung punya mertua tajir begird." Ia lalu mencari masjid.
asuk. Tak lama seorang lelaki gemuk bersarung dan
Ketemu masjidnya juga mewah dan bagus. Ia teringat kata-kata satpam tadi, "Jadi si Kecil Dela itu sudah mau ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat ustadz, padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Ia tersenyum. Ia berharap Pak Broto belum menemukan guru ngaji. Ia merasa harus nekat. "Mau nyopet aja perlu nekat, masak mau ngajar ngaji tidak nekat. Tak ada salahnya tho copet ngajar ngaji biar dosanya terhapus dikit-dikit." Batinnya dalam hati. Lalu dengan mantap ia memarkir sepeda motornya di depan rumah di Jalan Flamboyan no. 17. Ia pencetbel. Seorang pembantu wanita agak tua membuka pintu. "Oh, Pak Ustadz. Mau ketemu siapa?" "Pak Broto ada, Bu?" "Ada. Silakan masuk Pak Ustadz." Dengan tenang ia mberbaju koko keluar. "Oh Ustadz. Di mana kita pernah bertemu ya Pak Ustadz?" Pak Broto merasa kenal. "Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto. Gini Pak Broto langsung saja, ada yang memberitahu saya, katanya Pak Broto perlu guru pri vat ngaji untuk si Kecil Delia. Apa betul?" Syamsul menjawab dengan sangat tenang. "Benar Pak Ustadz. Sudah ada seorang guru ngaji yang datang tadi pagi tapi saya tidak cocok, sebab dia 110 tidak ada background pesantrennya. Saya ingin guru ngaji yang pemah belajar di pesantren." "Kebetulan saya dulu pernah nyantri di Kediri. Asli saya dari Pekalongan Pak Broto. Sekarang saya tinggal di perumahan di Parung bagian barat." "O ya...ya...ya. Alhamdulillah kalau begitu.
Delia juga yang pinter nyanyi." "Uda Delia ingin, Kak
Semoga si Delia mau. Sekarang tinggal Della-nya mi. Oh ya nama Pak Ustadz siapa ya? Saya lupa?" Syamsul ingin tertawa. Belum pernah bertemu tapi merasa sudah kenal. Kadang orang kaya itu aneh. "Nama saya Syamsul, Pak Broto." "O ya..ya...ya. Saya panggilkan Delia dulu. Biar segera clear urusannya." Pak Broto lalu masuk memanggil-manggil anaknya. Tak lama, ia kembali keluar bersama anak putri berumur enam tahun. "Ini Dik Delia ya?" sapa Syamsul dengan ramah. "Iya." Jawab Delia acuh tak acuh. "Kenalkan nama kakak Syamsul, panggil Kak Syamsul." "Kak Syamsul mau jadi ustadz Delia ngaji ya?" "Iya. Itu jika Delia mau berteman dengan Kak Syamsul." "Kak Syamsul bisa nyanyi nggak. Soalnya Delia inginnya tuh ustadz Syamsul nyanyi apa?" "Coba Kak Syamsul nyanyi lagu daerah dari Kalimantan!" 111 "Wah kalau itu mah kecil. Nih dengerin baik-baik ya Delia: Ampar-ampar pisang pisangku belum masak. Masak bigi dihubung bari-bari. Mangga lepak mangga lepak Patah kayu bengkok.. Syamsul lalu menyanyi dengan semangat. Delia lalu ikut bernyanyi. Begitu lagu selesai, Delia langsung berkata pada ayahnya, "Saya mau ayah. Kak Syamsul pinter." Pak Broto tersenyum, "Ya sudah kalau begitu. Ayah mau bicara sama Kak Syamsul dulu ya. Kamu masuk sana!" Delia lalu masuk dengan berlari dan berteriak, "Hore aku puny a ustadz pinter nyanyi...!" "Alhamdulillah Pak Ustadz. Seperti yang Ustadz dengar sendiri. Delia mau. Terus kontrak kita bagaimana?"
di masjid perumahan ini, Insya Allah. Setelah shal
"Saya ikut aturan bapak saja. Saya tidak meragukan profesionalitas Pak Broto." Kening Pak Broto berkerut. "Hmm baiklah. Saya samakan dengan privat pianonya Delia saja ya Ustadz?" "Saya ikut. Tolong dijelaskan detilnya." "Satu minggu empat kali pertemuan. Satu pertemuan satu setengah jam. Sehingga satu minggu ada enam jam. Satu jamnya saya hargai seratus ribu. Jadi satu minggu 112 enam ratus ribu. Dan satu bulannya dua juta empat ratus ribu. Kalau ada jam tambahan maka harga per jamnya seratus ribu. Begitu Ustadz, bagaimana?" "Sepakat." "Terus pengaturan jamnya bagaimana, Ustadz?" "Begini saja. Pak Broto saja yang bikin dengan melihat jam kegiatan Delia. Insya Allah habis ini saya ke masjid. Saya shalat Maghrib at kita bicarakan di masjid iadwalnya. Bagaimana Pak?" "Baik Pak Ustadz. Baik." "Kalau begitu saya pamit dulu." Syamsul meninggalkan rumah itu dan pergi ke masjid. Sambil menunggu ia berbincang-bincang dengan penjaga masjid. Ia banyak mendapatkan info yang berharga. Termasuk tentang penghuni rumah no.19 Jalan Flamboyan. Silvie ternyata mahasiswi jurusan ekonomi UI. Silvie anak tunggal. Ayahnya seorang pengusaha di bidang travel dan pariwisata. Namanya Pak Heru. "Pak Heru itu bisa dikatakan yang paling kaya di perumahan ini. Ia punya travel yang sudah punya cabang di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Cabang travel-nya juga ada di Singapura, Malaysia dan Arab Saudi." Begitulah penjaga masjid itu menerangkan.
ngan Pak Broto. Kesepakatan-kesepakatan ten tang h
"Hanya saja Pak Heru sedikit pelit. Kalau membantu masjid sedikit. Masihbagusan Pak Broto yang tak pernah hitungan kalau membantu." Waktu Maghrib tiba. Jamaah berdatangan. Penjaga itu yang azan dan iqamat. Saat shalat mau 113 didirikan penjaga masjid itu mempersilakan Syamsul jadi imam. Syamsul ragu dan tidak mau. Tapi Pak Broto yang sudah hadir memaksanya agar ia mau. Akhirnya ia pun jadi imam. Dalam hati ia beristighfar sebelum maju dan berkata, "Ya Rabbi apakah kau mau menerima shalat hamba-hamba-Mu yang diimami seorang pencopet?" Ia shalat dengan membaca surat-surat pendek. Bacaannya tartil. Satu tahun di pesantren cukup baginya untuk membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Usai shalat ia berbincang-bincang d eari dan jam dengan cepat tercapai. Di tengah asyiknya berbincang, Pak Heru ikut nimbrung. Pak Heru bercerita tentang musibah yang menimpa putrinya semata wayang, "Sekali ini dia naik bus kota langsung kecopetan. SIM, STNK, KTP, Kartu Mahasiswa hilang. Untung pas tidak bawa ATM. Ia juga kehilangan empat ratus ribu." Pak Broto diam mendengarkan. Demikian juga Syamsul. Dalam hati Syamsul berkata, "Pak, si Copet yang mencopet putri Bapak ada di depan Bapak." Seorang jamaah yang mendengar dari kejauhan mendekat sambil berkata, "Mungkin karena kurang zakat kali, Pak." "Masak? Kan tiap tahun harta saya sudah saya zakati 2,5 persen." "Mungkin yang kurang infak shadaqahnya. Shadaqah kan tolak balak. Bener nggak, Ustadz?" Syamsul mengangguk. 114
elulu di ruang belajar Delia. Kadang di taman. Kad
Pak Heru terdiam. Syamsul harus minta diri pulang. Sebab ia pinjam kendaraan Pak Abbas hanya sampai jam delapan malam. Dalam perjalanan ia berniat untuk taubat dan jadi manusia baik sungguhan. 115 Sejak itu Syamsul mulai menata hidupnya. la merasa jika gaji privat ngajinya cukup, maka tidak perlu lagi mencopet. Dan ia berjanji dalam hati akan mengembalikan dompet korban-korbannya ke alamatnya masing-masing. Seminggu empat kali ia mengajar Delia. Dan agar tidak mengecewakan kala mengajar, ia pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku cerita anak Islami. Dongeng-dongeng anak. Buku-buku permainan anak. Juga psikologi anak. Syamsul berusaha sebisa mungkin 117 Tiga eBook by MR. menjadikan Delia keranjingan mengaji. Tempat ngajinya tidak mang di masjid. Bahkan terkadang ia ajak jalan pakai kendaraan dan mencari daerah yang enak untuk mengaji. Pak Broto senang sekali dengan kemajuan putri bungsunya itu. Dari mulut Delia, Syamsul banyak tahu tentang Silvie. Sebab Delia diajar matematika oleh Silvie. Dan akhirnya Silvie pun kenal Syamsul. Selain mengajar Delia, Syamsul mulai mendapat tawaran mengajar anak yang lain. Ia merasa bisa hidup mandiri dari uang yang halal. Saat ia merasa ada uang lebih ia langsung menabung. Dan untuk menambah ilmu serta menguatkan statusnya, Syamsul masuk kuliah di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta. Dengan begitu statusnya adalah mahasiswa. Ia juga berani kredit kendaraan. Karena tanpa kendaraan ia tidak bisa ke mana-mana. Suatu ketika selesai mengajar Delia ia bertemu Pak
eritahukan jatidiri saya kepada Burhan Pak? Ini demi kebaikan
Heru di masjid. Ayah Silvie itu mengajaknya berbincangbincang. "O jadi Ustadz Syamsul kenal dengan Burhan Faishal yang sekarang masih di Pesantren Al Furqon? Burhan itu calon menantu saya. Dia putra Pak Anwar pemilik percetakan besar di Pasar Rebo lho nak." "O ya Pak. Saya kenal sekali dengan dia. Kebetulan saya dan dia satu pesantren. Tapi benar, Burhan itu calon menantu Bapak?" "Benar Ustadz. Malah Nak Burhan sendiri sudah melamar Silvie." 118 "Sama keluarganya Pak?" "Ya baru bicara bilateral dengan saya. Belum dengan orangtuanya. Tapi dia sudah kasih cincin sama Silvie." "Agak aneh, yang Bapak maksud Burhan yang ada tahi lalatnya di jfdatnya?" "Iya benar." "Aneh." "Aneh apa Ustadz?" "Saya akan memberikan informasi penting. Tapi Bapak mau bersumpah untuk tidak mem bkeluarga Bapak dan keluarga Burhan?" "Info apa Ustadz?" "Info penting. Kalau Bapak tidak mau bersumpah tidak akan saya beritahu." Pak Heru penasaran. Akhirnya ia mau bersumpah menuruti syarat Syamsul. "Baik Pak. Tolong dengar baik-baik. Burhan memang santri yang cerdas. Tapi menurut saya tidak cocok, maaf, jadi menantu Bapak. Kasihan Silvie nantinya." "Kenapa bisa begitu Ustadz? Ustadz jangan lancang ya!" "Sabar dulu Pak. Tunggu saya selesai berbicara. Setahu saya Burhan Faishal itu sudah serius bertunangan dengan seorang santriwati namanya Damayanti binti Ustman. Santriwati asal Tulungagung. Saya tahu persis. Sayang saya tidak punya foto mereka berdua." 119 "Ustadz jangan memfitnah dong. Ustadz jangan main-main ya." "Begini Pak Heru. Alamat tinggal saya saat ini jelas. Pak Broto tahu siapa saya. Jadi kalau saya macammacam
jika ini salah wahai Tuhan." Meskipun dia j
Bapak bisa menindak saya. Saya sarankan Pak Heru langsung membuktikan sendiri. Jangan beritahu Silvie. Kalau Silvie diberitahu pasti akan telpon atau SMS Burhan. Dan Burhan akan berusaha menutupi kebenaran. Saya sarankan Bapak langsung ke Tulungagung. Ke rumah tunangan Burhan. Saya punya alamatnya. Baru setelah itu Bapak boleh mengambil keputusan." "Baik Ustadz. Kata-kata Ustadz saya pegang. Mana alamatnya." Syamsul menulis alamat kantor di mana ayah Damayanti kerja. "Pak Utsman, ayah Damayanti itu kepala KUA, jadi mudah mencarinya. Saya juga akan pegang sumpah Bapak. Ini hanya Bapak yang tahu." "Baik. Saya akan ke sana secepatnya. Kebetulan saya harus melihat travel saya di Surabaya." Dalam hati Syamsul berkata, "Saya tidak memfitnah Burhan. Saya hanya ingin menyelamatkan Silvie dari orang licik seperti Burhan. Ampuni saya uga mengakui ia melakukan ini juga karena didorong dendam. * * * Hari terus berjalan. Satu minggu kemudian, di suatu Ahad pagi, Syamsul sedang bincang-bincang dengan Pak Abbas mengenai kegiatan remaja masjid di dekat tempat 120 tinggalnya untuk menyambut Ramadhan. Pak Heru datang. Syamsul kaget. Jangan-jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, hal-hal di luar yang ia perhitungkan. Syamsul minta waktu pada Pak Abbas untuk menemui Pak Heru. "Assalamu'alaikum." Sapa Pak Heru. "Wa'alaikumussalam. Ada apa Pak Heru?" Jawab Syamsul. Pak Heru malah menangis, "Terima kasih Ustadz. Terima kasih. Kalau tidak karena info Ustadz mungkin saya akan menanggung malu besar. Dan anak saya akan tidak jelas masa depannya." "Ada apa sebenarnya Pak Heru?" "Saya sudah ke Tulungagung Ustadz. Saya sudah bertemu dengan Pak Utsman. Apa yang Ustadz
u. la langsung menelpon ke Kediri, ke kantor pengur
sampaikan benar. Pak Utsman bercerita panjang lebar tentang hubungan putrinya dengan Burhan. Sampai akhirnya, di akhir cerita Pak Utsman menangis. Karena pertunangan putrinya dengan Burhan itu harus dia putus karena akhlak Burhan yang ternyata sangat buruk. Akhir bulan kemarin Burhan dikeluarkan dari pesantren karena terbukti mencuri. Burhan sekarang sedang disel di Polres Kediri karena melukai pengurus pesantren dengan senjata tajam. Saya benar-benar menyesal percaya pada anak itu. Oleh anak itu saya dirugikan empat puluh juta. Dia bilang pinjam buat modal usaha buka toko buku di Kediri. Setelah saya cek toko itu fiktif." "Saya tidak mengira sejauh itu Burhan tergelincir. Terus Silvie gimana Pak? Apa dia sudah tahu?" 121 122 "Wa'alaikumussalam." Begitu Pak Heru pergi, Syamsul langsung lari ke wartel untuk memastikan kabar i tus pesantren. Yang menerima agaknya Lurah Pondok. "Ini siapa ya?" tanya Lurah Pondok. Syamsul malah gantian bertanya, "Ini Lurah Pondok Pesantren Al Furqon Pagu ya?" "Iya benar. Ini siapa?" "Ini alumni pesantren tahun kemarin, Kang. Aku dengar kabar ada sanrri yang disel di Polres apa benar?" "Ya benar. Karena dia mencuri dan menyerang pengurus yang akan meringkusnya." "Dia itu yang namanya siapa itu, yang berambut gondrong yang dicurigai banyak orang. Saya kok lupa?" Syamsul menyelidik. "O yang berambut gondrong itu namanya Syamsul. Yang disel bukan dia. Aduh kalau teringat dia kami jadi merasa sangat berdosa. Dia korban fitnah. Kami masih ceroboh dulu. Yang dipenjara itu Burhan." "O ya yang berambut gondrong itu Syamsul ya. Saya kok lupa. Dia korban fitnah maksudnya bagaimana?" "Dia korban fitnah perangkap si Burhan. Kami semua
i mata pesantren dan keluarganya kembali pulih. "Mes
berdosa padanya. Kami ingin minta maaf padanya. Tapi tidak tahu dia di mana sekarang?" "Sudah ke keluarganya?" "Sudah. Kami minta maaf pada mereka. Keluarganya sangat marah pada kami. Dan keluarganya 123 "Ya. Silvie sudah tahu semuanya. Sebab saya ke Tulungagung langsung mengajak dia. Dia bersyukur tahu semuanya. Dan Silvie ingin pura-pura tidak tahu. Tidak usah berkata apa-apa pada Burhan. Dalam waktu cepat Burhan pasti bebas dan pasti akan langsung datang. Setelah keluarga Damayanti memutuskan hubungan, jelas Burhan akan langsung mengejar Silvie. Saat Burhan datang itulah Silvie ingin memberinya pelajaran atas kedustaannya selama ini." Syamsul hanya manggut-manggut. la merasa dalam hal itu tidak berhak turut campur. Sekarang dia merasa lega. la berharap berita yang dibawa Pak Heru benar. Dengan demikian namanya yang telah hitam dkipun Burhan itu temanku. Dalam masalah ini saya tidak bisa ikut campur. Dan saya tidak berhak berbicara apa-apa. Saya hanya berdoa semoga semuanya jadi baik." Pelan Syamsul. "Iya Ustadz benar. Oh ya Ustadz, sekali lagi kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas informasinya. Kalau Ustadz ada waktu kapan-kapan setelah mengajar Delia, Ustadz bisa mampir ke rumah. Sebab ibunya Silvie ingin memberikan sesuatu pada Ustadz sebagai tanda terima kasih." "Sama-sama Pak. Sudah menjadi kewajiban seorang Muslim untuk saling menjaga dan mengingatkan." "Saya pamit dulu Ustadz." "Mari Pak Heru." "Assalamu 'alaikum." menyesal, karena Syamsul sudah lama minggat dari rumah." "Minggat dari rumah?" "Ya. Aduh saya jadi ingin menangis. Betapa kecerobohan kami telah menyengsarakannya." "Masya Allah, betapa dahsyat ya dampak fitnah itu." "Iya benar. Sangatbesar. Makanya fitnah lebih kejam
ri ia sangat rindu pada adiknya itu.
dari pembunuhan. Oh ya siapa namamu?" "Namaku Adi, Kang. Gitu dulu Kang ya. Assalamu'alaikum. Salam buat Pak Kiai." la tidak bohong. Nama lengkapnya Syamsul Hadi. Dan dia mengambil tiga huruf terakhir dari namanya, yaitu Adi. Padahal ada banyak nama Adi di pesantrennya. Lurah Pondok itu pasti tidak mengira kalau dia yang nelpon. "Biarlah mereka mencariku. Dan akan aku maafkan jika mau mencium telapak kakiku." Gumamnya sambil matanya berkaca-kaca mengingat ketika ia dipukul hingga berdarah-darah. Tangan dan kaki diikat. Dicacimaki. Digunduli. Dan dikeluarkan dengan sangat tidak hormat. Ia juga ingat keluarganya. Nadia pasti sangat bahagia mendengarnya. Ibu dan ayahnya juga. Tidak tahu kedua kakaknya. Namun ia tidak akan menelpon mereka. Ia akan pulang jika telah sukses dan jadi orang. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa mandiri. Dan bisa berhasil. Namun tidak memungk iSore itu juga ia memberi kabar singkat pada adiknya lewat telpon. Begitu adiknya mengangkat hp ia bertanya, 124 "Ini Nadia ya?" Adiknya itu menjawab "Ini siapa ya?" "Nadia ini aku. Syamsul kakakmu. Kakak memberi tahu bahwa kakak masih hidup. Kau belajar yang rajin ya. Agar hidup mulia dan bahagia. Itu saja ya. Wassalam." Langsung ia tutup. * * * Jam lima sore usai mengajar Delia, Syamsul menyempatkan diri bertandang ke rumah Pak Heru. Ia ingin menghormati tawaran Pak Heru. Syamsul disambut ramah oleh anggota keluarga itu. Bu Heru menyampaikan banyak terima kasih. Dan banyak bertanya kepada Syamsul. Di antaranya mengenai asalusul Syamsul. "Saya dari Pekalongan Bu. Dari keluarga yang biasabiasa saja. Tidak ada yang istimewa dari saya dan keluarga saya. Saya termasuk orang yang terlambat kuliah. Baru tahun ini saya kuliah. Setelah lulus SMA saya masuk pesantren." Terang Syamsul. Ia tidak mau
nya kami ingin Ustadz berangkat bersama kami. Kalau me
membuka lebih dari itu. Tidak juga bagaimana ia pernah difitnah Burhan. Juga tidak tentang dompet Silvie yang ia copet. Hanya dompet Silvie yang belum ia kembalikan. Ia berniat secepatnya mengembalikan. "Ini Ustadz sebagai tanda terima kasih. Saya ingin memberikan hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami ini di bidang travel. Kami punyanya tiket. Kami ingin memberikan hadiah tiket dan akomodasi umroh kepada Ustadz, Ramadhan ini." 125 Syamsul senang sekali mendengarnya. Tapi ia teringat dengan program Ramadhan untuk remaja masjid yang telah ia rancang bersama Pak Abbas. Ia tidak mau meninggalkannya. Dengan hati berat ia menjawab, "Bukannya saya menolak, Bu. Sungguh saya ingin umroh. Namun Ramadhan ini saya punya tanggung jawab penuh mengorganisir kegiatan remaja masjid di perumahan tempat saya tinggal. Jadi maaf saya tidak bisa." Bu Heru kelihatan agak kecewa. Namun segera tersenyum, "Sebena rmang begitu ya tidak apa-apa. Nanti kami ganti lain kali yang lebih baik, insya Allah." "Ibu tidak usah memaksakan diri. Sudah menjadi kewajiban kita saling menjaga. Sudah kewajiban saya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan semampu saya. Jadi ibu tidak usah repot-repot." Pembicaraan berlanjut hingga azan Maghrib berkumandang. Bakda Maghrib ia pulang. Dan ia kembali teringat adik dan ibunya di Pekalongan. Ia berdoa semoga mereka semua dalam keadaan baik. Ia berusaha memaafkan apa yang telah dilakukan keluarganya padanya. Termasuk kedua kakaknya yang memperlihatkan rasa tidak sukanya kepadanya. Ia berharap semuanya jadi baik dan bahagia. Ia yakin ibunya sekarang pasti ingin bertemu dengannya. Namun sekali lagi ia menegaskan dalam hati, ia belum ingin pulang. Karenanya, agar ibunya tenang ia akan kirim paket hadiah kejutan. * * * 126 Empat Keesokan harinya, ia ke Pasar Ciputat. Mencari dua
Kebetulan temanya menyambut Bulan Suci Ramadhan. Lha
jilbab model terbaru. Satu untuk ibunya dan yang satu untuk Nadia. Ia juga beli kertas kado. Ia bungkus dengan rapi. Di dalam bungkusan itu ia sertakan sepucuk surat yane isinya, 127 128 Ia merasa lega. Hutang-hutangnya terasa telah terlunasi. Ia merasa siap memasuki Bulan Suci Ramadhan dengan jiwa yang lebih mantap dan dada yang lapang. Besok adalah hari terakhir bulan Sya'ban. Lusanya sudah puasa. Selesai mengirim hadiah itu ia kuliah. Dan pulang ke kontrakan menjelang Ashar. Ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur tipis yang ia gelar di atas karpet. Ia pasang beker. Ia pejamkan mata sebentar. Beberapa detik sebelum azan ia bangun dan ke masjid. Setelah shalat ia langsung meluncur ke Flamboyan 17, mengajar ngaji Delia. Selesai member! privat, ia ingin langsung pulang. Tapi ia dicegat penjaga masjid di jalan. "Ustadz Syamsul maaf mengganggu. Saya mau minta tolong. Begini, nanti malam kan pengajian rutin. sayangnya Ustadz Farid yang menjadi pembicara
a kembali teringatbahwa copet untuk berbuat jahat s
tidak bisa hadir. Tolong Ustadz gantikan ya?" Jelas penjaga masjid perumahan mewah itu. "Aduh mendadak banget ya?" "Tolonglah Ustadz. Kasihan jamaah jika tak ada yang ngisi." Ia mengerutkan dahi. Ia sebenarnya sangat capek dan letih. Juga belum persiapan. Tapi ia teringat bahwa copet untuk berbuat jahat saja berani nekat, masak untuk berbuat baik tidak berani nekat. Akhirnya ia menjawab, "Baiklah saya coba." Ia tidak jadi pulang. Ia lebih baik langsung ke masjid saja. Sampai di masjid ia dibuatkan teh hangat oleh 129 Lalu ia paketkan kilat tercatat di kantor pos. la merasa bahagia bisa mengirim hadiah itu. Pada waktu yang sama ia juga mengirim paket untuk Silvie. Isinya adalah dompet Silvie, persis seperti saat ia copet dulu. Tak kurang malah ia tambahi lima puluh ribu. Ia juga tulis surat singkat, 130 "Yang menilai kan orang lain Ustadz. Ceramah Ustadz bagus kok. Kita deal Ustadz ya. Jadwalnya besok sayaberitahu sekaligus temanya. Bagaimana Ustadz?" Iaja berani nekat masak untuk berbuat baik tidak berani nekat. Akhirnya ia menjawab, "Baiklah saya coba." " Alhamdulillah." "Nama saya Doddy Alfad. Ini kartu nama saya." Syamsul menerima kartu nama itu. * * * Sore hari berikutnya, Syamsul kembali ke Perumahan Villa Gracia. Untuk mengajar Delia dan untuk menemui Pak Doddy berkenaan dengan ceramah pagi di stasiun televisi swasta terkemuka. Seperti biasa Syamsul menunggu di masjid. Sebab janji dengan Pak Doddy adalah selepas shalat Isya. Ketika Syamsul sedang berbincang dengan penjaga masjid, Pak Heru datang. Wajahnya serius. "Ustadz, keluarga Burhan mau datang ke rumah setelah Maghrib. Apa Ustadz ikut menemui mereka?" Pak Heru memberitahu. Mau tidak mau hati Syamsul bergetar. Bagaimana tidak, ia diminta untuk menemui orang yang pernah memfitnahnya. "Tidak usah Pak. Ikut menemui dalam kapasitas saya sebagai apa? Kan tidak jelas. Bapak dan keluarga yang menemui kan sudah cukup." Jawab Syamsul berusaha tenang. 131
a dipaksa menggantikan." "Tapi bagus kok." Direktur itu
penjaga masjid. Malam itu jadilah ia mengisi ceraman di masjid yang dihadiri oleh empat ratus orang jamaah. Di antara jamaah itu ada Pak Broto, Bu Broto, Pak Heru, Bu Heru, Silvie dan orang-orang penting penghuni perumahan mewah itu. Syamsul menjelaskan bagaimana Rasulullah menyambut Ramadhan dengan persiapan prima. "Kita semua juga harus menyambut Ramadhan dengan penuh rasa cinta, bahagia. Seperti rasanya seorang kekasih menyambut datangnya kekasihnya." Katanya memberi perumpamaan. Para jamaah puas. Di antara jamaah itu ada seorang Direktur Program Religius sebuah televisi swasta terkemuka Jakarta. Isi ceramah yang ia sampaikan agaknya mengetuk kalbunya. Bapak Direktur itu mengajaknya berbincang-bincang setelah ceramah. "Gaya bahasa Ustadz enak. Diksinya enak. Timbrenya pas. Bumbunya pas. Isinya mengena. Joke-joke-nya berkualitas. Ustadz lulusan universitas mana?" tanya Bapak Direktur. "Saya masih kuliah Pak. Ini kan karena Ustadz Farid tidak datang, maka sa y lalu menawarkan kepada Syamsul untuk jadi ustadz di acara ceramah pagi. "Saya lihat Ustadz cocok. Ya satu dua kali saja selama Bulan Suci Ramadhan. Gimana Ustadz?" "Saya kuatir kalau saya belum pantas Pak." "Oh ya Ustadz benar. Ya sudah itu saja Ustadz yang ingin saya sampaikan." Pak Heru lalu kembali pulang. Syamsul berkata, "Lho Pak tidak shalat Maghrib berjamaah di masjid?" "Sebentar saya ganti baju dan ambil peci." Sahut Pak Heru sambil tersenyum. Syamsul memandang pemilik perusahaan travel itu dengan tersenyum pula. Syamsul kembali ke ruang takmir melanjutkan perbincangan dengan penjaga masjid. "Kenapa Pak Heru kok sekarang berubah sejak bertemu dengan Ustadz?" kata penjaga masjid. "Berubah bagaimana?" "Berubah lebih rendah hati. Lebih sering ke masjid. Dan sif at pelitnya sedikit berkurang." "Itu bukan karena bertemu dengan saya Pak. Tapi memang sudah saatnya berubah. Manusia kan berproses. Umar bin Khattab saja untuk jadi baik kan juga ada prosesnya." Penjaga masjid itu manggut-manggut. "Ustadz benar."
ah." Tapi ia menghibur hatinya bahwa pa
Azan Maghrib dikumandangkan dan Syamsul kembali didaulat jadi imam. Ketika ia meluruskan barisan ia kaget. Sepintas ia melihat Burhan masuk masjid diikuti keluarganya. Ia tetap mengendalikan hati. Setelah istighfar tiga kali untuk menyucikan dan menyejukkan hati, barulah ia takbiratul ikhram. Di rakaat pertama ia membaca Asy Syams dan di rakaat kedua membaca Az Zilzalah. Ia meneteskan airmata ketika membaca faman ya'mal mitsqala dzarratin khairan yarah wa man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah. Selesai shalat dan zikir, Syamsul memberikan kultum. Ia mengulas dua ayat terakhir surat Az Zilzalah yang baru saja ia baca. Burhan yang jadi makmum dan jadi pendengar nyaris tidak percaya dengan yang ia dengar. Dalam hati ia berkata, "Bagaimana mungkin si Syamsul yang telah hancur itu bisa jadi penceramah? Bagaimana ceritanya ia sampai di sini? Apakah dia sudah tahu perkembangan terbaru yang terjadi di pesantren?" Ada sedikit kekuatiran dan kecemasan yang menyusup dalam hatinya. "Kalau ia sudah tahu bisa bikin masa lsti Syamsul tidak tahu. Dan Syamsul tidak mungkin bertindak bodoh, sebab ia sedang jadi imam. Kalaupun Syamsul sudah tahu apa yang terjadi di pesantren, anggapannya, Syamsul pasti tidak tahu hubungan dirinya dengan Silvie. Putri Pak Heru yang kaya raya itu. Selesai kultum Syamsul langsung keluar masjid dengan tenang. Ia melangkah di samping Burhan. Ia pura-pura tidak tahu. Burhan berdiri mendekatinya dan berjalan di sampingnya, membisikkan sesuatu untuk memancing emosi Syamsul. Bisikan itu hanya Syamsul yang dengar, "Hai maling, gimana ceritanya kau bisa jadi imam di sini? Apa sah shalatnya makmum yang diimami seorang penjahat? Nanti kalau aku jadi orang sini 132 133 sebaiknya kauangkat kaki sebelum diusir dengan tidak terhormat kedua kali!?" Bergemuruh dada Syamsul mendengarnya. Amarahnya membara. Emosinya sudah di ubun-ubun kepala. la siap membalas dengan serangan yang lebih dahsyat. Belum sempat ia bicara Delia memanggilnya, "Ustadz Syamsul... Ustadz Syamsul?" Suara Delia itu meluruhkan amarahnya. Menyejukkan hatinya.
tanya Syamsul sambil mendekatkan ke telinganya.
"Ada apa Delia?" Jawab Syamsul langsung menengok ke arah Delia yang berjalan cepat ke arahnya. Ia tidak memperhatikan Syamsul. Burhan yang masih di samping Syamsul, ikut memandang Delia. "Mau minta tanda tangan. Ini tugas dari Bu Guru agama." "Oyasini." Syamsul menerima buku tugas dan pena dari Delia dan menandatanganinya. "Sudah?" tanya Syamsul. "Masih ada satu lagi." Kata Delia. Burhan masih belum beranjak. Masih memperhatikan. "Apa?" tanya Syamsul. "Ada pesan dari Mbak Silvie?" Syamsul langsung merasa mendapat senjata unruk menjawab bisikan Burhan yang sungguh menghina. Untuk lebih menyerang Burhan yang ada di sampingnya Syamsul pura-pura tanya pada Delia, "Silvie yang mana?" 134 "Itu lho Ustadz, Mbak Silvie putrinya Pak Heru. Yang biasa kasih privat matematika." Lalu sambil berjongkok, seolah ingin memperhatikan pesan dengan serius Syamsul melirihkan suara, dengan bertanya, "Mbak Silvie yang cantik itu?" Delia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Burhan yang mendengar hal itu hatinya terbakar luar biasa. "Pesannya apa? " Burhan didera rasa penasaran yang luar biasa. Delia mendekatkan mulutnya dan membisikkan beberapa kata ke telinga Syamsul. Seketika Syamsul berkata, "Yang benar?" "Benar. Delia berani sumpah mati!" "Ya ya Ustadz percaya. Sampaikan pada Mbak Silvie: Ustadz juga sama gitu ya?" "Baik Ustadz. Cihui... Ustadz juga sama... Ustadz juga sama!" Delia berlari ke arah jamaah putri. Burhan tidak bisa menyembunyikan cemburunya. la langsung bertanya pada Syamsul, "Kau kenal Silvie?" "Maaf itu bukan urusanmu Sobat. Maaf saya tergesagesa. Saya harus ngisi di tempat lain." Syamsul langsung berjalan cepat ke arah sepeda motornya. la pura-pura sibuk. la nyalakan sepeda motornya. Sampai di jalan ia teringat janji dengan Pak Doddy setelah Isya. Ia berpikir langsung saja ke rumah Pak Doddy. Sementara Burhan masih dibakar amarah 135 dan cemburu. la ingin cepat-cepat sampai ke rumah Pak Heru. Dan melampiaskan marahnya pada Silvie. la ingin menanyakan apa yang disampaikan pada Syamsul itu. "Awas kau Silvie!" * * * Burhan dan keluarganya sampai di rumah Silvie.
unggu." Jawab Pak Heru tenang. Burhan mendengar hal itu
Rombongan dua mobil dari Pasar Rebo itu disambut dengan ramah oleh Pak Heru, Bu Heru, Silvie, Pak Broto dan Mas Budi, satpam penjaga pintu gerbang perumahan yang sedang tidak tugas. Mas Budi memakai baju takwa, sebab bakda shalat Maghrib langsung digandeng Pak Heru. Silvie bersikap tenang dengan jilbab merah jambunya. Dalam balutan jilbab mahasiswi ekonomi UI tampak begitu anggun. Ibunda Burhan memuji kecantikan Silvie. Dan Silvie hanya tersenyum saja. Dialog dua keluarga terjadi. Di tengah dialog, Burhan minta waktu pada Silvie untuk bicara berdua. Burhan ingin melampiaskan kemarahannya. Tapi dengan halus Silvie menolak. Burhan tampak kecewa. Pembicaraan terus berlanjut, "Sebagaimana Pak Heru ketahui, Burhan dan Silvie sudah lama saling mengenal. Burhan juga, katanya, telah memberikan cincin pengikat kepada Silvie. Kedatangan keluarga kami ini ingin menguatkan ikatan itu secara resmi. Dalam bahasa transparannya kami ingin meminang Silvie untuk Burhan." Jelas Ayah Burhan dengan sangat tenang dan penuh keyakinan. "Inilah yang kami tunggu- t dengan kebahagiaan yang sulit digambarkan. 136 Namun Pak Heru melanjutkan, "Sebenarnya saya dan keluarga ingin ke rumah Pak Anwar. Hanya saja ternyata kami didahului. Keluarga Pak Anwar lebih dulu datang. Kami senang dengan kedatangan ini. Karena Pak Anwar memakai bahasa transparan. Maka saya juga akan menjawab dengan bahasa transparan. Dengan segala kerendahan hati saya selaku ayah Silvie menyampaikan. Saya tidak bisa menerima lamaran Pak Anwar untuk Burhan. Karena satu dan lain hal yang semoga kita sama-sama bisa memakluminya. Mohon maaf jika keputusan ini kurang berkenan." Burhan dan keluarganya tersentak kaget bukan kepalang. "Apa saya tidak salah dengar Pak?!" seru Burhan spontan sambil berdiri. Karena yang berbicara Burhan, Silvie langsung menukas, "Tidak!" "Apa?!" Burhan mengulang dengan sedikit lebih keras. "Apa telingamu bermasalah, Bung. Ayahku cukup berbicara satu kali. Tak perlu diulang. Ini cincin dustamu itu saya kembalikan! Dasar santri bajingan!" Darah muda Silvie bergolak. la yang biasanya berbicara lembut saat itu amarahnya meledak. Pak Anwar yang sebenarnya marah mencoba
na mencuri dan memfitnah orang! Dipenjara karena mel
meredakan suasana yang sama sekali jauh dari yang ia bayangkan itu. "Sebentar-sebentar, masalah sebenarnya apa? Kenapa Pak Heru menolak. Tolong bisa dijelaskan. Mari kita berdialog dengan kepala dingin. Mungkin ada salah paham." 137 "Saya ingin Pak Anwar menerima dan menghargai keputusan kami. Meskipun tanpa alasan sama sekali. Toh sebenarnya antara Silvie dan Burhan tak ada ikatan apaapa secara agama. Saya tidak perlu menjelaskan. Kiranya Pak Anwar pasti sudah mengerti alasan kami. Kalau kami menjelaskan nanti malah semakin tidak enak." Jawab Pak Heru tenang. "Tidak bisa Pak! Tidak bisa menolak tanpa alasan. Tolong jelaskan! Atau jangan-jangan saya tidak diterima karena Silvie sudah tidak layak bagi saya!" tukas Burhan. "Burhan, kalau bicara yang sopan! Silvie sudah tidak layak bagaimana? Apa maksudmu?" seru Pak Anwar, ayah Burhan. "Ya sekarang kan zaman edan. Bisa saja tho Silvie sudah hamil dengan pria lain misalnya?" Jawaban Burhan itu membuat emosi Silvie tak tertahankan, "Tutup mulutmu, Bajingan! Aku sudah tahu siapa kamu? Kau tak lebih dari sampah busuk! Dikeluarkan dari pesantren kar eukai orang. Penipu ulung, mana modal empat puluh juta yang kaupinjam untuk toko bukumu itu. Toko buku fiktif. Terus bagaimana dengan Dalmayanti? Setelah kau ditolak di Tulungagung kau lari ke sini. Jika sampah itu telah dibuang dari pesantren dan tidak diterima di mana-mana apa kami harus menerima. Bukankah lebih baik sampah itu didaurulang dulu agar berguna. Kalian ini ingin dihormati tapi tidak bisa menghormati. Dan kau Pak Anwar, sudah tahu anaknya sampah masih juga tidak tahu diri! Mungkin 138 kalian tidak percaya yang saya sampaikan! Masih ingin bukti? Ini!" Silvie melempar Koran. Koran itu mcnggeletak di meja. Ada sebuah judul yang tertera jeas: DIPENJARA KARENA KEJAHATAN DI PESANTREN. Dan terpampang jelas foto Burhan yang gundul. Melihat hal itu Pak Anwar dan isterinya langsung pucat pasi. Mereka sangat malu. "Hei, Maling, apa kaukira bisa menipu kami bahwa gundulmu itu karena umroh, bukan karena digunduli di pesantren!" Kata-kata Silvie sangat mengguncang Burhan. la tidak kuasa menahan amarahnya. "Kurang ajar kau! Berani menghina aku ya!" Dan., plak! Dengan cepat Burhan menempeleng Silvie. Kejadian
bu-abu berkata pada Pak Anwar dengan kesal ber
itu sungguh tidak diduga. Burhan kembali Ingin menghajar Silvie. Namun Mas Budi cepat bertindak. la segera mengatasi Burhan. Burhan melawan, tapi Mas Budi yang jago karate itu dengan mudah melumpuhkannya. Mulut Silvie berdarah. Sambil meringis ia berkata, "Saya tidak terima. Ini harus diproses hukum!" Pak Anwar, dengan berlinang airmata berkata terbata, "Nak Silvie, Pak Heru dan Bu Heru maafkan kami. Sungguh kami sangat terpukul.Baru kali ini kami tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan anak kami. Selama ini kami percaya penuh padanya. Kami memang kurang kontrol dan terlalu memanjakannya. Saya tidak 139 tahu dengan apa yang telah diperbuatnya sampai dia dikeluarkan dari pesantren dan dipenjara. Saya juga tidak tahu perihal penipuannya. Maafkan kami. Tapi tolong jangan laporkan Burhan ke polisi. Saya minta..." Silvie menggeleng. "Tindak kejahatan harus diproses oleh hukum!" Silvie lalu minta Mas Budi mengamankan Burhan. Burhan langsung digelandang ke pos satpam. Di pos satpam, Burhan diberi pelajaran tambahan oleh dua orang satpam. Keluarga Burhan pulang dengan membawa malu luar biasa. Seorang lelaki berjas acampur marah, "Saya sangat malu pada Pak Heru. Pak Heru itu teman baik saya di SMA. Saya jadi tahu kenapa tadi Pak Heru pura-pura tidak kenal saya. Itu gara-gara ternyata saya mengantar seorang penjahat ke rumahnya. Mengantar seorang penjahat untuk melamar anaknya. Saya malu Pak Anwar! Sejak sekarang hubungan bisnis kita putus!" Ketika polisi datang mengambil Burhan dari pos satpam, di saat yang sama Syamsul mengambil jadwalnya dari Pak Doddy dan ia meneken kontrak tayang di televis. Tanda tangannya bersanding dengan tanda tangan orang penting di stasiun televisi itu. Angin yang bertiup spoi-spoi seolah mengalunkan firman Allah, faman ya'mal mitsqala dzarratin khairan yarah zva man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah. 140 Ramadhan tiba. Kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh bahagia. Syamsul sibuk dengan jadwalnya: mendampingi kegiatan remaja masjid, imam tarawih, privat, kuliah, ceramah, dan shooting ceramah di televisi. Ia muncul di televisi dua kali selama Ramadhan. Tanggal 9 Ramadhan dan tanggal 27 Ramadhan. Ia mempersiapkan ceramahnya dengan sungguh-sungguh. Ia ajak remaja masjid untuk menyertainya latihan.
baik oleh Pak Heru dan Bu Heru. "Baiklah kita datangi
Seolah-olah di studio. Mereka sebagai audiens nya. Ia minta masukan dan kritikan. Sampai menemukan bentuk dan performa terbaik. Tanggal 8 Ramadhan ia menelpon Nadia adiknya. Ia meminta untuk nonton ceramah pagidi stasiun televisi Ajam D. "Jangan sampai tidak nonton. Kakak ikut dalam pengajian itu. Ia tidak mengatakan sebagai pembicaranya. Beritahu ayah, ibu dan kakak ya." Ia juga menelpon pesantrennya. Kepada kurah Pesantren ia bilang, "Kang tolong besok seluruh santri nonton ceramah pagi distasiun televisi A jam D. Pengisinya seorang Ustadz muda alumnus pesantren kita. Jangan lupa sampaikan pada Pak Kiai." Ia tidak bilang itu dirinya. la masih mengaku sebagai Adi. Seperti di telpon sebelumnya. Pada hari H, ia tampil dengan sangat prima di televisi. Ceramahnya hidup. Direktur Program dan para kru televisi memuji. Di Pekalongan, adiknya Nadia, ibunya, ayahnya dan kedua kakaknya menangis. Demikian juga di pesantrennya. 141 Di Flamboyan 19 Silvie menyaksikan dengan hati penuh cinta. Tanpa sadar, ia berucap, "Orang seperti ini yang kudamba. Sederhana. Rendah hati. Namun penuh potensi!" Kata-kata Silvie itu didengar dengan Ustadz Syamsul nanti sore sebelum kita terlambat. Semoga dia belum punya calon." Kata Pak Heru menukas. Silvie terkesiap mendengarnya. Lalu hatinya berbuhga-bunga. Ia mengamini doa ayahnya. Dalam hati ia berharap di Bulan Suci Ramadhan ini ia mendapatkan cinta sejatinya. Sejenak pikirannya berkelebat, teringat pada pesan sebuah buku yang pernah dibacanya, "Cinta adalah sesuatu yang menakjubkan. Kamu tidak perlu mengambilnya dari seseorang untuk memberikannya kepada orang lain. Kamu selalu memilikinya lebih dari cukup untuk diberikan kepada orang lain." Silvie teringat pesan itu. Ia ingin memberikan cintanya kepada Ustadz Syamsul. Karena ia yakin, ia benar-benar memiliki cinta untuk diberikan kepada Ustadz Syamsul, ustadz idaman yang kini memenuhi ruang hatinya. * * * Sidang pembaca yang dirahmati oleh Allah Swt. Bagaimanakah kisah cinta Silvie dan Syamsul selanjutnya? Akankah Syamsul menerima lamaran si Silvie? Bagaimanakah kehidupan Syamsul selanjutnya? Akankah ia makin sukses di kehidupannya mendatang? Dan Bagaimanakah kelanjutan cerita Syamsul seleng- 142 kapnya? Bagaimana sikap keluarga dan pesantrennya yang dulu mengusirnya? Temukan saja jawabannya di
edisi romannya: DALAM MIHRAB CINTA, yang semoga bisa segera diluncurkan. Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan kepada kita semua untuk beramal kebaikan di dunia ini untuk bekal kelak di akhirat nanti: faman ya'mal mitsqala dzarratin khairaii yarah wa man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah. Candiwesi, Salatiga-Pesantren Basmala, Semarang-Malaya University, Malaysia, 17 Agustus 2006 - 27 Desember 2006. 143
* * *
Posted by Byyou Pradana On 21.46
Pada malam hari ini saya akan berbagi novel yang di tulis oleh habiburrahman el shirazy novel ini bercerita tentang Zahid yang zuhud dan Afirah yang Kayadaripada saya ceritakan nanti tidak seru...mending'an download saja

jika anda di suruh masukin password ketik saja "byyoupradana" tanpa tanda petik.

tetapi jika nda masih kesulitan ini,,,langsung saya kasih...

Silahkan di simak 


                                        SAJADAH CINTA


KOTA KUFAH terang oleh
sinar purnama. Semilir
angin yang bertiup dari
utara membawa hawa
sejuk. Sebagian rumah
telah menutup pintu dan jendelanya. Namun
geliat hidup kota Kufah
masih terasa. Di serambi masjid Kufah,
seorang pemuda berdiri
tegap menghadap kiblat.
Kedua matanya
memandang teguh ke
tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan
ayat-ayat suci Al-Quran.
Hati dan seluruh gelegak
jiwanya menyatu
dengan Tuhan, Pencipta
alam semesta. Orang- orang memanggilnya
Zahid atau Si Ahli Zuhud,
karena kezuhudannya
meskipun ia masih muda.
Dia dikenal masyarakat
sebagai pemuda yang paling tampan dan paling
mencintai masjid di kota
Kufah pada masanya.
Sebagian besar
waktunya ia habiskan di
dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut
ilmu pada ulama
terkemuka kota Kufah.
Saat itu masjid adalah
pusat peradaban, pusat
pendidikan, pusat informasi dan pusat
perhatian. Pemuda itu terus larut
dalam samudera ayat
Ilahi. Setiap kali sampai
pada ayat-ayat azab,
tubuh pemuda itu
bergetar hebat. Air matanya mengalir deras.
Neraka bagaikan
menyala-nyala
dihadapannya. Namun
jika ia sampai pada ayat-
ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit
terasa bagai mengguyur
sekujur tubuhnya. Ia
merasakan kesejukan
dan kebahagiaan. Ia
bagai mencium aroma wangi para bidadari
yang suci. Tatkala sampai pada
surat Asy Syams, ia
menangis, fa alhamaha fujuuraha
wa taqwaaha. qad aflaha man
zakkaaha. wa qad khaaba man
dassaaha (maka Allah
mengilhamkan kepada
jiwa itu jalan kefasikan
dan ketaqwaan, sesungguhnya,
beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa
itu, dan sungguh merugilah
orang yang mengotorinya ) Hatinya bertanya-tanya.
Apakah dia termasuk
golongan yang
mensucikan jiwanya.
Ataukah golongan yang
mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang
beruntung, ataukah
yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali-
kali. Hatinya bergetar
hebat. Tubuhnya
berguncang. Akhirnya ia
pingsan. *** 

Sementara itu, di pinggir
kota tampak sebuah
rumah mewah bagai
istana. Lampu-lampu
yang menyala dari
kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai
bintang gemintang.
Rumah itu milik seorang
saudagar kaya yang
memiliki kebun kurma
yang luas dan hewan ternak yang tak
terhitung jumlahnya. Dalam salah satu
kamarnya, tampak
seorang gadis jelita
sedang menari-nari riang
gembira. Wajahnya
yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar
yang terpancar bagai
tiga lentera yang
menerangi ruangan itu.
Kecantikannya sungguh
memesona. Gadis itu terus menari sambil
mendendangkan syair-
syair cinta, in kuntu ?asyiqatul lail fa ka ?si musyriqun bi dhau ? wal hubb al wariq (jika aku pencinta malam
maka gelasku memancarkan
cahaya dan cinta yang mekar ) *** 


Gadis itu terus menari-
nari dengan riangnya.
Hatinya berbunga-
bunga. Di ruangan
tengah, kedua
orangtuanya menyungging senyum
mendengar syair yang
didendangkan putrinya.
Sang ibu berkata, Abu
Afirah, putri kita sudah
menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik
syair-syair yang ia
dendangkan. Ya, itu syair-syair cinta.
Memang sudah saatnya
dia menikah. Kebetulan
tadi siang di pasar aku
berjumpa dengan Abu
Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya,
Yasir. Bagaimana, kau terima
atau? Ya jelas langsung aku
terima. Dia ?kan masih kerabat sendiri dan kita
banyak berhutang budi
padanya. Dialah yang
dulu menolong kita
waktu kesusahan. Di
samping itu Yasir itu gagah dan tampan. Tapi bukankah lebih
baik kalau minta
pendapat Afirah dulu? Tak perlu! Kita tidak ada
pilihan kecuali menerima
pinangan ayah Yasir.
Pemuda yang paling
cocok untuk Afirah
adalah Yasir. Tapi, engkau tentu tahu
bahwa Yasir itu pemuda
yang tidak baik. Ah, itu gampang. Nanti
jika sudah beristri
Afirah, dia pasti juga
akan tobat! Yang
penting dia kaya raya. *** 

Pada saat yang sama, di
sebuah tenda mewah, tak
jauh dari pasar Kufah.
Seorang pemuda tampan
dikelilingi oleh teman-
temannya. Tak jauh darinya seorang penari
melenggak lenggokan
tubuhnya diiringi suara
gendang dan seruling. Ayo bangun, Yasir.
Penari itu
mengerlingkan matanya
padamu! bisik temannya. Bebenarkah? Benar. Ayo cepatlah. Dia
penari tercantik kota ini.
Jangan kau sia-siakan
kesempatan ini, Yasir! Baiklah. Bersenang-
senang dengannya
memang impianku. Yasir lalu bangkit dari
duduknya dan beranjak
menghampiri sang penari.
Sang penari
mengulurkan tangan
kanannya dan Yasir menyambutnya.
Keduanya lalu menari-
nari diiringi irama
seruling dan gendang.
Keduanya benar-benar
hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra
penari itu membisikkan
sesuatu ketelinga Yasir, Apakah Anda punya
waktu malam ini
bersamaku? Yasir tersenyum dan
menganggukan
kepalanya. Keduanya
terus menari dan menari.
Suara gendang memecah
hati. Irama seruling melengking-lengking.
Aroma arak menyengat
nurani. Hati dan pikiran
jadi mati. *** 

Keesokan harinya. Usai shalat dhuha, Zahid
meninggalkan masjid
menuju ke pinggir kota.
Ia hendak menjenguk
saudaranya yang sakit.
Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca
ayat-ayat suci Al-Quran.
Ia sempatkan ke pasar
sebentar untuk membeli
anggur dan apel buat
saudaranya yang sakit. Zahid berjalan melewati
kebun kurma yang luas.
Saudaranya pernah
bercerita bahwa kebun
itu milik saudagar kaya,
Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki
jalan yang membelah
kebun kurma itu. Tiba-
tiba dari kejauhan ia
melihat titik hitam. Ia
terus berjalan dan titik hitam itu semakin
membesar dan mendekat.
Matanya lalu
menangkap di kejauhan
sana perlahan bayangan
itu menjadi seorang sedang menunggang
kuda. Lalu sayup-sayup
telinganya menangkap
suara, Toloong! Toloong!! Suara itu datang dari
arah penunggang kuda
yang ada jauh di
depannya. Ia
menghentikan
langkahnya. Penunggang kuda itu
semakin jelas. Toloong! Toloong!! Suara itu semakin jelas
terdengar. Suara seorang
perempuan. Dan
matanya dengan jelas
bisa menangkap
penunggang kuda itu adalah seorang
perempuan. Kuda itu
berlari kencang. Toloong! Toloong
hentikan kudaku ini! Ia
tidak bisa dikendalikan! Mendengar itu Zahid
tegang. Apa yang harus
ia perbuat. Sementara
kuda itu semakin dekat
dan tinggal beberapa
belas meter di depannya. Cepat-cepat ia
menenangkan diri dan
membaca shalawat. Ia
berdiri tegap di tengah
jalan. Tatkala kuda itu
sudah sangat dekat ia mengangkat tangan
kanannya dan berkata
keras, Hai kuda makhluk Allah,
berhentilah dengan izin
Allah! Bagai pasukan
mendengar perintah
panglimanya, kuda itu
meringkik dan berhenti
seketika. Perempuan
yang ada dipunggungnya
terpelanting jatuh.
Perempuan itu
mengaduh. Zahid
mendekati perempuan itu
dan menyapanya, Assalamu ?alaiki. Kau tidak apa-apa? Perempuan itu
mengaduh. Mukanya
tertutup cadar hitam.
Dua matanya yang
bening menatap Zahid.
Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan, Alhamdulillah, tidak apa-
apa. Hanya saja tangan
kananku sakit sekali.
Mungkin terkilir saat
jatuh. Syukurlah kalau begitu. Dua mata bening di balik
cadar itu terus
memandangi wajah
tampan Zahid. Menyadari
hal itu Zahid
menundukkan pandangannya ke tanah.
Perempuan itu perlahan
bangkit. Tanpa
sepengetahuan Zahid, ia
membuka cadarnya. Dan
tampaklah wajah cantik nan memesona, Tuan, saya ucapkan
terima kasih. Kalau boleh
tahu siapa nama Tuan,
dari mana dan mau ke
mana Tuan? Zahid mengangkat
mukanya. Tak ayal
matanya menatap wajah
putih bersih memesona.
Hatinya bergetar hebat.
Syaraf dan ototnya terasa dingin semua.
Inilah untuk pertama
kalinya ia menatap
wajah gadis jelita dari
jarak yang sangat dekat.
Sesaat lamanya keduanya beradu
pandang. Sang gadis
terpesona oleh
ketampanan Zahid,
sementara gemuruh hati
Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu
tersenyum dengan pipi
merah merona, Zahid
tersadar, ia cepat-cepat
menundukkan
kepalanya. Innalillah. Astagfirullah, gemuruh
hatinya. Namaku Zahid, aku dari
masjid mau
mengunjungi saudaraku
yang sakit. Jadi, kaukah Zahid yang
sering dibicarakan orang
itu? Yang hidupnya
cuma di dalam masjid? Tak tahulah. Itu
mungkin Zahid yang
lain. kata Zahid sambil
membalikkan badan. Ia
lalu melangkah. Tunggu dulu Tuan
Zahid! Kenapa tergesa-
gesa? Kau mau kemana?
Perbincangan kita belum
selesai! Aku mau melanjutkan
perjalananku! Tiba-tiba gadis itu
berlari dan berdiri di
hadapan Zahid. Terang
saja Zahid gelagapan.
Hatinya bergetar hebat
menatap aura kecantikan gadis yang
ada di depannya. Seumur
hidup ia belum pernah
menghadapi situasi
seperti ini. Tuan aku hanya mau
bilang, namaku Afirah.
Kebun ini milik ayahku.
Dan rumahku ada di
sebelah selatan kebun ini.
Jika kau mau silakan datang ke rumahku.
Ayah pasti akan senang
dengan kehadiranmu.
Dan sebagai ucapan
terima kasih aku mau
menghadiahkan ini. Gadis itu lalu
mengulurkan
tangannya memberi sapu
tangan hijau muda. Tidak usah. Terimalah, tidak apa-
apa! Kalau tidak Tuan
terima, aku tidak akan
memberi jalan! Terpaksa Zahid menerima
sapu tangan itu. Gadis itu
lalu minggir sambil
menutup kembali
mukanya dengan cadar.
Zahid melangkahkan kedua kakinya
melanjutkan perjalanan. *** 

Saat malam datang
membentangkan jubah
hitamnya, kota Kufah
kembali diterangi sinar
rembulan. Angin sejuk
dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di
kamarnya. Matanya
berkaca-kaca. Hatinya
basah. Pikirannya
bingung. Apa yang
menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di
kebun kurma hatinya
terasa gundah. Wajah
bersih Zahid bagai tak
hilang dari pelupuk
matanya. Pandangan matanya yang teduh
menunduk membuat
hatinya sedemikian
terpikat. Pembicaraan
orang-orang tentang
kesalehan seorang pemuda di tengah kota
bernama Zahid semakin
membuat hatinya
tertawan. Tadi pagi ia
menatap wajahnya dan
mendengarkan tutur suaranya. Ia juga
menyaksikan
wibawanya. Tiba-tiba
air matanya mengalir
deras. Hatinya
merasakan aliran kesejukan dan
kegembiraan yang belum
pernah ia rasakan
sebelumnya. Dalam hati
ia berkata, Inikah cinta? Beginikah
rasanya? Terasa hangat
mengaliri syaraf. Juga
terasa sejuk di dalam
hati. Ya Rabbi, tak aku
pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang
bernama Zahid. Dan
inilah untuk pertama
kalinya aku terpesona
pada seorang pemuda.
Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya
Rabbi, izinkanlah aku
mencintainya. Air matanya terus
mengalir membasahi
pipinya. Ia teringat sapu
tangan yang ia berikan
pada Zahid. Tiba-tiba ia
tersenyum, Ah sapu tanganku ada
padanya. Ia pasti juga
mencintaiku. Suatu hari
ia akan datang kemari. Hatinya berbunga-
bunga. Wajah yang
tampan bercahaya dan
bermata teduh itu hadir
di pelupuk matanya. *** 

Sementara itu di dalam
masjid Kufah tampak
Zahid yang sedang
menangis di sebelah
kanan mimbar. Ia
menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya
dalam shalat. Ia tidak
tahu harus berbuat apa.
Sejak ia bertemu dengan
Afirah di kebun kurma
tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora
hatinya. Aura
kecantikan Afirah
bercokol dan mengakar
sedemikian kuat dalam
relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas
dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa
saja yang ia kerjakan. Ia
telah mencoba berulang
kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah
dengan melakukan
shalat sekhusyu ?- khusyu ?-nya namun usaha itu sia-sia. Ilahi, kasihanilah hamba-
Mu yang lemah ini.
Engkau Mahatahu atas
apa yang menimpa
diriku. Aku tak ingin
kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga
tahu, hatiku ini tak
mampu mengusir pesona
kecantikan seorang
makhluk yang Engkau
ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan
dengan daya tarik wajah
dan suaranya Ilahi,
berilah padaku cawan
kesejukan untuk
meletakkan embun- embun cinta yang
menetes-netes dalam
dinding hatiku ini. Ilahi,
tuntunlah langkahku
pada garis takdir yang
paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup
matiku untuk-Mu. Isak
Zahid mengharu biru
pada Tuhan Sang
Pencipta hati, cinta, dan
segala keindahan semesta. Zahid terus meratap dan
mengiba. Hatinya yang
dipenuhi gelora cinta
terus ia paksa untuk
menepis noda-noda
nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-
embun cinta itu semakin
deras mengalir. Rasa
cintanya pada Tuhan.
Rasa takut akan azab-
Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah.
Dan rasa tidak ingin
kehilangannya. Semua
bercampur dan mengalir
sedemikian hebat dalam
relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia
pingsan. Menjelang subuh, ia
terbangun. Ia tersentak
kaget. Ia belom shalat
tahajjud. Beberapa orang
tampak tengah asyik
beribadah bercengkerama dengan
Tuhannya. Ia menangis,
ia menyesal. Biasanya ia
sudah membaca dua juz
dalam shalatnya. Ilahi, jangan kau
gantikan bidadariku di
surga dengan bidadari
dunia. Ilahi, hamba lemah
maka berilah kekuatan! Ia lalu bangkit, wudhu,
dan shalat tahajjud. Di
dalam sujudnya ia berdoa, Ilahi, hamba mohon ridha-
Mu dan surga. Amin. Ilahi
lindungi hamba dari
murkamu dan neraka.
Amin. Ilahi, jika boleh
hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah
pada-Mu, hamba terlalu
lemah untuk
menanggung-Nya. Amin.
Ilahi, hamba memohon
ampunan-Mu, rahmat- Mu, cinta-Mu, dan ridha-
Mu. Amin. *** 

Pagi hari, usai shalat
dhuha Zahid berjalan ke
arah pinggir kota.
Tujuannya jelas yaitu
melamar Afirah. Hatinya
mantap untuk melamarnya. Di sana ia
disambut dengan baik
oleh kedua orangtua
Afirah. Mereka sangat
senang dengan
kunjungan Zahid yang sudah terkenal
ketakwaannya di
seantero penjuru kota.
Afiah keluar sekejab
untuk membawa
minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia
mendengarkan dengan
seksama pembicaraan
Zahid dengan ayahnya.
Zahid mengutarakan
maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah. Sang ayah diam sesaat. Ia
mengambil nafas
panjang. Sementara
Afirah menanti dengan
seksama jawaban
ayahnya. Keheningan mencekam sesaat
lamanya. Zahid
menundukkan kepala ia
pasrah dengan jawaban
yang akan diterimanya.
Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah, Anakku Zahid, kau
datang terlambat.
Maafkan aku, Afirah
sudah dilamar Abu Yasir
untuk putranya Yasir
beberapa hari yang lalu, dan aku telah
menerimanya. Zahid hanya mampu
menganggukan kepala.
Ia sudah mengerti dengan
baik apa yang
didengarnya. Ia tidak
bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya.
Ia mohon diri dengan
mata berkaca-kaca.
Sementara Afirah, lebih
tragis keadaannya.
Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua
kakinya seperti lumpuh
seketika. Ia pun pingsan
saat itu juga. ***

 Zahid kembali ke masjid
dengan kesedihan tak
terkira. Keimanan dan
ketakwaan Zahid
ternyata tidak mampu
mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia
dengar dari ayah Afirah
membuat nestapa
jiwanya. Ia pun jatuh
sakit. Suhu badannya
sangat panas. Berkali- kali ia pingsan. Ketika
keadaannya kritis
seorang jamaah
membawa dan
merawatnya di
rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya
terucap kalimat tasbih,
tahlil, istigfhar dan
Afirah. Kabar tentang derita
yang dialami Zahid ini
tersebar ke seantero kota
Kufah. Angin pun
meniupkan kabar ini ke
telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak
kalah besarnya
membuatnya menulis
sebuah surat pendek, Kepada Zahid, Assalamu ?alaikum Aku telah mendengar
betapa dalam rasa
cintamu padaku. Rasa
cinta itulah yang
membuatmu sakit dan
menderita saat ini. Aku tahu kau selalu
menyebut diriku dalam
mimpi dan sadarmu. Tak
bisa kuingkari, aku pun
mengalami hal yang
sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan
kuingin kaulah
pendamping hidupku
selama-lamanya. Zahid, Kalau kau mau. Aku
tawarkan dua hal
padamu untuk
mengobati rasa haus kita
berdua. Pertama, aku
akan datang ke tempatmu dan kita bisa
memadu cinta. Atau kau
datanglah ke kamarku,
akan aku tunjukkan
jalan dan waktunya. Wassalam Afirah 
============================
============================
======= 

Surat itu ia titipkan pada
seorang pembantu
setianya yang bisa
dipercaya. Ia berpesan
agar surat itu langsung
sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang
ketiga yang
membacanya. Dan
meminta jawaban Zahid
saat itu juga. Hari itu juga surat
Afirah sampai ke tangan
Zahid. Dengan hati
berbunga-bunga Zahid
menerima surat itu dan
membacanya. Setelah tahu isinya seluruh
tubuhnya bergetar hebat.
Ia menarik nafas
panjang dan beristighfar
sebanyak-banyaknya.
Dengan berlinang air mata ia menulis untuk
Afirah : Kepada Afirah, Salamullahi ?alaiki, Benar aku sangat
mencintaimu. Namun
sakit dan deritaku ini
tidaklah semata-mata
karena rasa cintaku
padamu. Sakitku ini karena aku
menginginkan sebuah
cinta suci yang
mendatangkan pahala
dan diridhai Allah ?Azza Wa Jalla ?. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin
mendamba yang sama.
Bukan sebuah cinta yang
menyeret kepada
kenistaan dosa dan
murka-Nya. Afirah, Kedua tawaranmu itu
tak ada yang kuterima.
Aku ingin mengobati
kehausan jiwa ini
dengan secangkir air
cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka.
Afirah, Inni akhaafu in
?ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ?adhim! ( Sesungguhnya aku
takut akan siksa hari
yang besar jika aku
durhaka pada Rabb-ku.
Az Zumar : 13 ) Afirah, Jika kita terus bertakwa.
Allah akan memberikan
jalan keluar. Tak ada
yang bisa aku lakukan
saat ini kecuali menangis
pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah
pahala. Namun aku
sangat yakin dengan
firmannya : Wanita-wanita yang
tidak baik adalah untuk
laki-laki yang tidak
baik, dan laki-laki yang
tidak baik adalah buat
wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan
wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-
laki yang baik dan laki-
laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka
(yang dituduh) itu bersih
dari apa yang
dituduhkan oleh mereka.
Bagi mereka ampunan
dan rizki yang mulia (yaitu surga). Karena aku ingin
mendapatkan seorang
bidadari yang suci dan
baik maka aku akan
berusaha kesucian dan
kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang
menentukan. Afirah, Bersama surat ini aku
sertakan sorbanku,
semoga bisa jadi pelipur
lara dan rindumu. Hanya
kepada Allah kita
serahkan hidup dan mati kita. Wassalam, Zahid Begitu membaca
jawaban Zahid itu
Afirah menangis. Ia
menangis bukan karena
kecewa tapi menangis
karena menemukan sesuatu yang sangat
berharga, yaitu hidayah.
Pertemuan dan
percintaannya dengan
seorang pemuda saleh
bernama Zahid itu telah mengubah jalan
hidupnya. Sejak itu ia
menanggalkan semua
gaya hidupnya yang
glamor. Ia berpaling dari
dunia dan
menghadapkan wajahnya sepenuhnya
untuk akhirat. Sorban
putih pemberian Zahid ia
jadikan sajadah, tempat
dimana ia bersujud, dan
menangis di tengah malam memohon
ampunan dan rahmat
Allah SWT. Siang ia
puasa malam ia habiskan
dengan bermunajat pada
Tuhannya. Di atas sajadah putih ia
menemukan cinta yang
lebih agung dan lebih
indah, yaitu cinta kepada
Allah SWT. Hal yang
sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah.
Keduanya benar-benar
larut dalam samudera
cinta kepada Allah SWT. Allah Maha Rahman dan
Rahim. Beberapa bulan
kemudian Zahid
menerima sepucuk surat
dari Afirah : Kepada Zahid, Assalamu ?alaikum, Segala puji bagi Allah,
Dialah Tuhan yang
memberi jalan keluar
hamba-Nya yang
bertakwa. Hari ini
ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan
Yasir. Beliau telah
terbuka hatinya.
Cepatlah kau datang
melamarku. Dan kita
laksanakan pernikahan mengikuti sunnah
Rasululullah SAW.
Secepatnya. Wassalam, Afirah Seketika itu Zahid sujud
syukur di mihrab masjid
Kufah. Bunga-bunga
cinta bermekaran dalam
hatinya. Tiada henti
bibirnya mengucapkan hamdalah.


Cukup sekian dan terima kasih